Susah jadi setengah-setengah

Pernah di bus aku ngobrol sama pegawai terminal Tirtonadi Solo. Entah apa yang bisa membuka obrolan ini, aku sudah lupa. Tetapi yang masih teringat adalah ceplosannya –kalau boleh dibilang demikian, karena etika jalanan tentu berbeda dengan kraton, jadi relatif begitu –, " Yang Paling enak itu mas, yo sing wong ramudeng babar blas kui, wes ra mikir abot-abot, sing neng ndeso-ndeso, penting sesok mangan opo, eneng sing dipangan yo beres, rasah mikit thethek mbengek, negoro rakaruwan, langganan koran yo malah tambah mumet."

Tapi waktu itu aku sempat menyanggahnya. "Ngono yo ngono pak, ha ning nak ngono terus opo yo wong ndeso yo tetep koyo ngono, ra  ono perubahan."
Ya bukannya untuk sanggah-menyanggah secara serius sih, cuma biar arah pembicaraan agar ada sedikit konflik, dan dialog biar lebih lama jalannya, serta membuka pintu pembicaraan yang lain.
Terlepas dari bahwa itu pernah terpikir ketika menjadi mahasiswa dulu. He'e la emange wes dudu mahasiswa po'o?

Ya memang ada beberapa titik yang menentukan disini. Pertama, tidak tahu sama sekali. Kedua, tahu tapi cuma membaca dan tidak bisa mengusahakan untuk mengadakan/melakukan perubahan. Dan yang ketiga, ya tau dan mempunyai kuasa untuk mengadakan perubahan atau memang dia mempunyai kuasa untuk mengarahkan ke jalan yang lebih baik, dan itu tergantung kehendak dia.

By The Way, ya sutralah. Aku sekarang juga malah semakin bingung.

Tetapi dalam hati paling enggak ada niatan untuk melakukan perubahan dalam diri sendiri. Nanti tentunya juga menjalar baik itu melalui teman, keluarga, komunitas, lingkungan terdekat terpisah dengan kelajuan (a, m/s2) seperti deret hitung ataupun deret ukur, itu masalah lain.

Mungkin GEMANUSA lebih dimasifkan lagi kali ya…?!?!?!

*Dalam kebingungan yang amat sangat ketika melihat negeri ini semakin terpuruk.