Jogja, jogja, tetap istimewa, istimewa negrinya, istimewa orangnya..
Itulah sepenggal lirik Jogja istimewa yang dinyanyikan oleh Jogja Hip Hop Foundation. Mantap, membikin hati membuncah bangga, merasa menjadi sekeping bagian dari yang istimewa.
Tetapi, selain negri dan orangnya, ada beberapa hal lain yang juga ikut-ikutan istimewa. Ada yang benar-benar mau ikut; nggak sengaja ikut, tapi kecantol turut; atau ada juga yang diikut-ikutkan, meski sebenarnya ngga mau.
Kiro-kiro iki bahasan opo to mas dab?
Hura weruh bro, sing penting kene ki nunut ngiyup, pejah gesang tumut sinten, kulo nggih mboten ngertos. Melu mbak Gini wae piye?
La ditakoni kok malah genten takon?
Ha nek ra takon ki ketok-e ming meneng wae, malah didarake ra dong opo-opo, je, ha nek takon kan ,,, ‘wah ba’e jek isoh ngetokne ukoro’, lak yo ngono ta ora?
Mbuh, omongan karo koe marai tambah mumet!
Kalo sampeyan kemarin-kemarin ini (Februari 2017) membaca koran, tentu bertanya-tanya dalam hati kenapa mbak Gini dan mas Rasio yang tinggi itu suka mampir ke jogja. Apa karena Jogja is timewa?
Meski diri berkaca dengan seyakinnya, ngga ada istimewanya sama sekali, apa kita orang pinggiran, juga bisa disebut orang istimewa.
“Apa pakde tukang becak yang tidur malam di becaknya di emperan ruko selatan Progo itu juga istimewa??”
“Apa bapak tukang jual mainan ‘othok-othok’ itu juga istimewa?”
“Apa saya yang kuliah, skripsi ga jadi-jadi ini juga istimewa?”
“Apa mereka yang jomblo, tiap malam berteman guling, juga istimewa?”
“mbak Gini dan mas Rasio, kenapa memilih Jogja? jawab dengan kirim sms ke nomor 777777!”
Berdasarkan data dari BPS, sebut katadata, Gini Rasio Yogyakarta tertinggi se-Indonesia. Gini Rasio Yogyakarta pada September 2016 sebesar 0,425, lebih tinggi dari posisi Maret 2016 dan September 2015, yakni 0,42.
Gini Rasio: Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna).
Tingginya gini rasio tentu bukan prestasi bagus. Karena sebenarnya prinsip didirikannya negara Indonesia adalah untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, sebagaimana disebut dalam Pancasila sila kelima. Alias mengecilkan gini rasio.
Jadi, kita saat ini, sebagai warga Jogja boleh ngga’ sedikit bertanya kepada yang duduk di sana, sejauh mana kamarentah benar-benar bekerja untuk seluruh rakyatnya. Bukankah adanya kamarentah untuk membangun, meng-adil-kan, memeratakan?
Realita
Gaji
Tentang gaji, standar gaji 2017 propinsi DIJ adalah sbb:
Berikut rincian upah minimum di wilayah DIY:
1. Kota Yogyakarta menjadi Rp 1.572.200 atau naik Rp 119.800
2. Kabupaten Sleman Rp 1.448.385 atau naik Rp 110.385
3. Kabupaten Bantul Rp 1.404.760 atau naik Rp 107.060
4. Kabupaten Kulonprogo Rp 1.373.600 atau naik Rp 104.730
5. Kabupaten Gunungkidul Rp 1.337.650 atau naik Rp 101.950
Sementara hasil keputusan Gubernur DIY untuk Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2017 sebesar Rp 1.337.645,25. Sumber: KRjogja.
Dapat apa uang segitu:
Makan, anggap aja makan 10rb, x 3, x 30 = 900rb
Transport, bensin, anggap aja 30rb seminggu, x 4 = 120rb
sisa = 1,3 -1,02 = 128.000
Anggap aja untuk pulsa, sari roti, sabun, odol, sampo, taro, mie gemes, beli koran Tribun atau KR, sendal jepit, hanger. Atau keperluan kecil lainnya.
Belum ada anggaran untuk kos, kredit motor, beli baju, batik, celana panjang, sempak.
Kalo cewek belum ada anggaran untuk pembalut, makeup, dan keperluan kecil lainnya.
Dapet gaji UMP UMR itu sudah bagus, ada beberapa jenis pekerjaan yang digaji lebih kecil, karena memang jenis usahanya kecil. Seperti buruh laundry, penjaga konter pulsa, operator warnet, pembantu rumah tangga, dst.
Namun begitu, banyak juga yang gajinya berkali-kali lipat dari UMP UMR, seperti: dosen, PNS, level manajer (mbuh hotel, properti, driver grab car, member MLM melia, pokoknya yang lagi in saat ini).
Harga-harga
Kalo masalah makan, DIJ memberi segala kemungkinan kepada seluruh lapisan masyarakat.
Ada gudeg seharga 7000, ada juga yang harganya puluhan ribu, atau ratusan ribu.
Sego kucing di angkringan, 2000. Hokben di Amplaz 50.000 belum termasuk pajak. Pizzahat ratusan ribu.
Harga sandang, ada yang awul-awul belasan ribu, ada sekelas batik danarhadi jutaan rupiah untuk satu potong hem batik.
Harga papan. Nah ini yang jadi masalah. Semenjak kondangnya Jogja sebagai kota pemenuh harapan seluruh rakyat Indonesia, mulai sebagai kota wisata, kota paling liveable, kota pendidikan, predikat pernah ibukota, kota romantis, kota paling instagramable, kota istimewa dst, dst. seakan-akan semua orang pengin menautkan kenangan batinnya dengan jogja.
Tindakan yang paling nyata tentunya berharap memiliki secuil bidang tanah, sehingga kalau-kalau pensiun nanti bisa menikmati hari tua, menimang cucu di tanah harapan ini.
Hal itu semakin menjadi-jadi ketika mbak dian sastro dan mas rangga yang klepek-klepek juga menikmati sate klathak di kota dengan duduk bersila, sementara disana musisi jalanan mulai beraksi, memalak pembeli culun yang gentar hanya dengan dipelototi…
Akankah kusalahkan Kla Project yang membuat harga tanah jogja membumbung tinggi???
Anda yang sudah beli tanah di Jogja sebelum tahun 2010, tentu masih bisa bersyukur, beruntung. “Untung dulu sudah beli sewaktu harga masih 200rb permeter.”
Kalo sekarang, 2017, angkanya menjadi mulai 2 juta per meter.
Taruhlah dahulu, untuk mulai membangun rumah sederhana butuh 100m, bisa dibeli dengan, 200.000 x 100 = 20.000.000, 20 juta.
Sekarang, 2.000.000 x 100 = 200.000.000, 200 juta.
Itu hanya tanahnya, belum rumahnya. Kalo sekalian rumahnya ya tambahkan setidaknya 150 juta lagi.
Pertinyi’innyi, siapakah yang dapat memperoleh tanah 100m+rumahnya seharga 350jt tersebut?
Sementara, UMRnya aja 1,5 juta. Bukalah kamus kredit dari BPD Jogja, Bank Mandiri, Bank BRI, atau Bank Pasar Sleman, bagaimana skema kreditnya.
Anggap aja seperti gambar di bawah ini:
Lihat yang paling mentok, 99 jt, dengan angsuran 1,7 juta, jangka waktu 10 tahun.
Ha nek gajine wae 1,5 juta, entuk seko duit semono seko ngendi? Durung sing dinggo mangan mbendino,,,, (Pusing)
Bagi yang duitnya masih lebar selebar daun pisang, tentu akan menukarkannya dengan bidang-bidang tanah yang lain, sementara barisan UMR-er melolong, biaya kontrak rumah juga ikut istimewa.
Faktor pemicu ikutannya, ingpestor juga melihat Jogja sebagai tempat beternak ‘uang’-nya yang turah-turah. Terlihat dari menjamurnya hotel dan mall di tanah mataram ini. Bahkan tanah samping kuburan pun disikatnya. Sing penting bathi lek! Biar duitnya berkembang, menguntungkan.
Kenyataan ini benar-benar merusak harga pasaran tanah. yang dulunya hanya ratusan ribu, sekarang dalam tempo sesingkat-singkatnya, tak perlu berbilang puluhan tahun, harga sudah berpuluh kali lipat.
Sekali seorang tertinggal, tak segera membeli tanah, itu artinya segera saja aset finansialnya terbelah jurang menganga di depannya.
Misal: di tahun 2009, dengan uang 40jt, Adi sudah bisa dibelikan tanah 400m, dengan asumsi harga per meternya 100 ribu. Meski tak punya uang sebanyak itu, dengan gaji seadanya dan tabungannya dia bisa mencicil dengan hitungan yang masih bisa untuk hiduplah.
Temennya, Bimo, dengan gaji yang sama, namun duitnya hanya untuk mengontrak rumah, namun sisa gajinya masih tergolong lebar. Saat ini, 2017, dengan tindakannya tidak berani beli tanah duluan, tanah pun belum tentu bisa kebeli. Padahal harganya sudah 10 x lipat. 40 x 10=400jt.
Terjadilah kesenjangan.
Di belahan kehidupan lain, gen Z menikmati percakapan WAnya dengan syahdu, di pojok foodcourt mall, menunggu tontonan CGV, bersama yang-nya. Tak peduli mbak gini dan mas rasio mengintainya. Entah saat mereka menikah, berapa harga tanah di Jogja. Bisakah harga tanah turun?
Lihat juga: