Sudah tidak perlu lagi bertanya ke lembaga survei manapun, jika hanya untuk mengetahui tingkat kekerasan yang dilakukan masyarakat Indonesia beberapa waktu terakhir. Hari demi hari, silih berganti peristiwa kekerasan dipertontonkan oleh masyarakat kita. Setiap jam, setiap menit tidak lepas telinga kita mendengar, mata kita melihat, dan mulut-mulut yang tak henti-hentinya mengumbar setiap even kekerasan yang terjadi. Kamera tivi wartawan menjadi pengungkap semua itu. Dan mau tidak mau harus diakui bersama bahwa memang kita sedang sakit. Gila news heboh. Gila berita aneh. Gila segala-galanya.
Saya cukup mafhum dengan kejadian-kejadian yang sering terjadi menimpa sebagian besar masyarakat Indonesia. Dimana memang peran pemerintah yang seharusnya bisa optimal memanage kepentingan bersama tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dengan kebanyakan kinerja pegawai-pegawai pemetintahan yang seenaknya sendiri.
Sementara masyarakat dibiarkan mencari solusi sendiri atas segala permasalahannya. Bukan saja dalam bidang ekonomi — yang menyangkut hajat hidup primer, sandang, pangan, papan. Tetapi merambah ke hal-hal yang lain, seperti: keamanan, transportasi, pendidikan, dan bahkan beragama. Pemerintah yang seharusnya bisa menjamin kenyamanan masyarakat tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik.
Persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia memang dimulai dari satu dasawarsa yang lalu. Meski dahulu di jaman Pak Harto juga seringkali mengancam keamanan beberapa kelompok tertentu, namun imbasnya tidak bersifat nasional. Dan hampir bisa ditutup-tutupi. Sementara, prestasi ekonomi terkenal kemajuannya. Sebelum krisis jatuhnya rupiah terjadi.
Seiring maju-berkembangnya demokrasi di Indonesia, ternyata tidak secara otomatis berjalan linear dengan kemakmuran, kenyamanan, dan perbaikan status ekonomi dan pembangunan masyarakat. Demokrasi yang sukses dijalankan itu hanya berputar-putar di kalangan politikus-politikus. Dan masyarakat malah semakin tertekan dengan himpitan-himpitan baru. Entah imbas ekonomi global (seperti 1997 itu), ataupun imbas kebijakan-kebijakan pemerintah hasil demokrasi itu. Yang dulu digadang-gadang menjadi solusi memecahkan permasalahan bermasyarakat bernegara.
Sudah jamak diketahui bahwa ternyata pemerintah hasil demokrasi tersebut malah bekerjasama dengan internasional untuk memanfaatkan bersama potensi Indonesia yang luar biasa. Dan, harus diakui Indonesia memang luar biasa, sehingga harus bisa dimanfaatkan bersama-sama. Hasil akhirnya, semakin tambah hari semakin tertekanlah masyarakat. Kenaikan harga kebutuhan primer. Ketidaknyamanan dalam menjalani kehidupan. Ketidakmudahan mencari pekerjaan.
Reaksi-reaksi atas aksi-aksi beruntun lambat laun menjadi sebuah gunung permasalahan baru. Tekanan-tekanan tidak berkesudahan, dan selalu gagal dicari jalan solusinya. Gunung itu adalah gunung permasalahan mereka. Tumpukan itu mempengaruhi cara berfikirnya. Cara mereka menangani setiap timbul masalah yang baru.
Tidak berfikir panjang, kurang mempertimbangkan faktor-faktor ikutan, berfikir satu langkah, instan, tidak ada rencana matang, sporadis, kurang mempunyai jati diri, kurang percaya diri, saling menyalahkan, ngapusi, mengorbankan nilai moral, berjuang untuk hasil nominal tanpa memperdulikan proses, menilai sesuatu selalu dengan nominal, menafikan spiritual, lebih condong ke materi, putusnya urat malu, yang kasat mata, yang bisa diukur.
Hasil tindakan dari pola diatas bisa dilihat di news televisi setiap hari. Contohnya: bunuh diri, pengeroyokan maling, copet-rampok-curi dan segala tindakan kriminal lain, korupsi tiada henti, suap menyuap, tidak malu berbohong di depan umum, pembakaran massa, kerusuhan di pertandingan sepak bola, kerusuhan massa waktu berdemo, demo selalu bertujuan untuk saling pukul-memukul dan lempar melempar, pembobolan atm, nyontek waktu umptn, dll.
(wedew kok jadi panjang ya… bersambung aja )