Langkah Nyata Mengurangi Ketimpangan Pendapatan (Presidenri.go.id)

Dipublikasikan pada 15/08/2016 | 14:21 WIB

Pemerintah berusaha keras mengurangi kesenjangan pendapatan dengan memperbesar alokasi kesejahteraan untuk rakyat miskin, financial inclusion, KUR, Dana Desa.

Ketika merombak Kabinet Kerja untuk kedua kalinya, Selasa (27/7/2016), salah satu tujuan yang ingin disasar oleh Presiden Joko Widodo adalah mengurangi kesenjangan si kaya dan si miskin. Ketimpangan memang menjadi tantangan pembangunan. Bahkan, ketika pertumbuhan ekonomi melaju kencang, ketimpangan pendapatan tak bisa diabaikan, meski kadarnya berbeda-beda untuk tiap negara.

Salah satu indikator ketimpangan pendapatan adalah rasio gini yang angkanya berkisar antara 0-1. Angka 0 mengindikasikan distribusi pendapatan yang merata. Sebaliknya angka 1 menunjukkan ketimpangan sempurna. Angka 0,50-0,70 ketimpangan lebar. Indeks 0,31-0,40 ketimpangan sedang. Sementara 0,20-0,30 kesenjangan rendah.

Berapa rasio gini Indonesia? Pada Maret 2015, Badan Pusat Statistik mencatat angka rasio gini 0,41. Kemudian, pada September 2015, turun menjadi 0,40. Menurut Kepala BPS Suryamin, penurunan sebesar 0,01 poin ini menandakan ketimpangan orang kaya dan miskin di Indonesia semakin rendah. Secara rinci,  rasio gini di daerah perkotaan pada September 2015 tercatat 0,42, turun 0,01 poin dibanding Maret 2015 sebesar 0,43. Sementara, rasio gini di pedesaan pada periode yang sama relatif tidak berubah, 0,33.

Penurunan kesenjangan pendapatan menjadi keinginan pemerintah, karena ketimpangan pendapatan yang terlalu besar berpotensi memunculkan kecemburuan yang bisa mengarah pada konflik sosial.

Ditilik dari sumbernya, ketimpangan pendapatan bisa berasal pada 3 hal: kesenjangan antar individu, kesenjangan antar sektor, dan kesenjangan antar daerah.

Untuk mengurangi kesenjangan kemampuan individu, pemerintah memperbanyak pendidikan vokasi. Cara ini bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar mereka mendapatkan keahlian. Melalui kemampuannya upah yang lebih baik akan didapat. Alhasil gap pendapatan diperkecil.

Memperbesar alokasi anggaran untuk kesejahteraan kaum miskin dan mengurangi subsidi BBM, juga cara mengurangi kesenjangan. Melalui bantuan kesejahteraan ini masyarakat kurang mampu mendapatkan jaminan dasar pendidikan, kesehatan, dan pangan. Sehingga penghasilan yang mereka tidak dihabiskan untuk membiayai kebutuhan dasar dan sebaliknya dapat  dialokasikan untuk keperluan lain. Sementara melalui penghapusan subsidi BBM, pemerintah mengalihkan  uang tersebut untuk kesejahteraan rakyat miskin.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menyalurkan Dana Desa kepada 312 daerah kabupaten/kota di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Daerah yang telah menerima penyaluran Dana Desa tahap I ini merupakan kabupaten/kota yang telah menyampaikan persyaratan penyaluran Dana Desa secara lengkap. Berdasarkan publikasi yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) pada Kamis (12/5), total dana yang telah disalurkan mencapai Rp20,29 triliun, atau sekitar 71,98 persen dari total alokasi Dana Desa tahap I.

Dana desa yang disalurkan langsung untuk memperbaiki fasilitas dasar di desa akan membuat kegiatan pembangunan yang memanfaatkan tenaga lokal berjalan. Ini tentu akan meningkatkan pendapatan warga desa, yang pada gilirannya akan memperkecil kesenjangan pendapatan kaya-miskin.

Pemerintah juga membuka akses perbankan yang dikenal dengan financial inclusion untuk masyarakat yang selama ini tidak pernah bersentuhan dengan lembaga keuangan. Melalui cara ini, masyarakat bisa mendapatkan pinjaman dari bank untuk mengembangkan usahanya.

Kredit Usaha Rakyat, juga ditawarkan dengan bunga hanya 9 persen per tahun. Dengan bunga rendah masyarakat diharapkan agar usaha mikro, khususnya bisa menjangkau akses kredit. Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan program  dalam Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro dan Kecil (klaster 3).Klaster ini bertujuan untuk meningkatkan akses permodalan dan sumber daya lainnya bagi usaha mikro dan kecil.

Proyek-proyek infrastruktur yang tengah dilakukan pemerintah secara besar-besaran juga  bertujuan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Dampaknya adalah terjadi redistribusi pendapatan, termasuk pembangunan di daerah perbatasan, pinggiran, dan pulau-pulau terpencil. Melalui cara ini kesenjangan pendapatan antar daerah dan antar wilayah bisa diperkecil.

Tak kalah pentingnya adalah mengurangi ketimpangan antar sektor, dimana pemerintah fokus pada sektor pertanian, perumahan, kesehatan, dan usaha kecil. Sektor-sektor ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Dengan demikian makin banyak orang memperoleh pendapatan,  sehingga ketimpangan pendapatan berkurang lantaran pembangunan tidak terpaku pada satu sektor saja.

Berbagai usaha di atas akan mengurangi kesenjangan antar daerah, antar sektor, dan antar individu. Harapannya, pada tahun 2019 rasio gini turun hingga 0,36 sesuai target RPJMN.

Urbanisasi Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dalam jangka waktu cukup lama memiliki implikasi yang luas. Tak hanya semata tercermin dari tingkat kesejahteraan, tetapi juga tingginya perpindahan masyarakat desa ke kota (urbanisasi). Akibatnya, populasi di kota mengalami “ledakan”.

“Pertumbuhan populasi di perkotaan Indonesia termasuk yang tertinggi (di dunia) yakni 4,1 persen,” ujar Sri Mulyani dalam acara Investor Gathering 2017 di Jakarta, Senin (27/3/2017).

Angka pertumbuhan populasi di area urbanisasi itu lebih tinggi dibandingkan India yang hanya 3,1 persen. Bahkan, China yang ekonominya tumbuh tinggal, pertumbuhan populasi di perkotaan hanya 3,8 persen.

Akibat urbanisasi yang “menggila” itu, kota menjadi penuh sesak. Bahkan 18 juta dari 21 juta kesempatan kerja justru tercipta di perkotaan dari periode 2001-2011.

Menurut perempuan yang kerap disapa Ani itu, salah satu poin penting meledaknya populasi di perkotaan bagi kualitas kesejahteraan masyakarat adalah kemampuan area urbanisasi menyediakan perumahan yang layak bagi masyakarat.

Di Indonesia, kebutuhan rumah mencapai 820.000 hingga 1 juta per tahun. Sekitar 40 persen kebutuhan perumahan itu bisa dipenuhi oleh pihak swasta, 20 persen oleh pemerintah, dan 40 persen diperoleh secara swadaya masyakarat sendiri.

“Ini persoalan yang harus dipecahkan,” kata Sri Mulyani.

Masalah ketersediaan perumahan yang layak untuk masyakarat perkotaan dinilai bisa semakin pelik sebab diperkirakan pertumbuhan ekonomi di perkotaan akan semakin tinggi.

Saat ini 40 persen masyakarat teratas mampu membeli rumah dengan penghasilannya sendiri. Sisanya, 40 persen masyarakat bisa membeli rumah dengan tambahan subsidi dari pemerintah.

Adapun sisanya 20 persen masyakarat tidak mampu membeli rumah tanpa ada bantuan menyeluruh dari pemerintah.

Selama menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja, Sri Mulyani mengakui belum memperhatikan lebih detail masalah kebutuhan perumahan lantaran banyak pekerjaan rumah di bidang fiskal yang membutuhkan penangangan lebih dulu.

Meski begitu, Sri Mulyani mengatakan akan mendorong pemenuhan kebutuhan perumahan melalui alokasi anggaran di APBN.

Sri Mulyani berharap semakin besarnya alokasi anggaran untuk penyediaan perumahan bisa menjadi solusi awal menangani masalah kebutuhan perumahan rakyat.

Di beberapa posting blog ini saya cuma ngumpulin artikel-artikel terkait hal-hal yang saling terkait. Harapannya, yang kebetulan mampir kesini bisa melihat bahwa berbagai permasalahan Indonesia itu saling terpaut saling sengkarut.

Jika melihatnya sepotong-sepotong, tentu tak akan bisa melihat dengan tepat darimana akar permasalahan berawal. Sehingga dipakailah kacamata kuda, cenderung saling menyalahkan sana-sini.

Sebagai sesama warga, semoga kita bisa memberi sumbangsih sekecil apapun untuk negeri tercinta. Setidaknya, tidak menambah beban masalah.

Oleh Prof. Rhenald Kasali

@Rhenald_Kasali

KOMPAS.com – “Welcome to the Age of Urbanization”. Kalimat itu kini banyak kita temui dalam berbagai pemberitaan dan kajian-kajian ekonomi terbaru.

“By 2025, nearly 2,5 billion people will live in cities in Asia,” tulis Dobbs, Manyika dan Woetzel (2015). Ketiga penulis tersebut adalah peneliti senior McKinsey.

Sekarang saja kemacetan di berbagai kota Asia sudah amat kita rasakan. Ya di sini, di Jakarta, ya di Manila. Peluang inilah yang diintip para penguasa dan pengusaha.

Siap-siaplah menyambut kegaduhan, antara yang berpikir cara baru dan cara lama. Antara yang melihatnya sebagai musibah dengan yang melihat opportunity.

Jangan lupa, populasi urban Indonesia yang tahun 2005 baru 43 persen (dengan size of economy 0,7 triliun dollar AS) kini telah mencapai 50 persen (1 triliun dollar AS), dan diproyeksikan akan menjadi 68 persen (2 triliun dollar AS) pada tahun 2025.

Kalau bukan kita, sudah pasti pasar ini akan direbut asing. Lihat saja, betapa SPBU Pertamina dikepung asing di kota-kota besar dan Indihome (Telkom) terengah-engah menghadapi Balon Google dan IOT asing.

Urbanisasi, kata tokoh reformasi ekonomi Tiongkok, Lie Keqiang adalah, “Bukanlah semata-mata penambahan penduduk urban. Ia adalah sebuah perubahan besar ke cara hidup kota, baik dalam partisipasi politik, struktur ekonomi, lapangan kerja, lingkungan hidup, rekreasi, menikmati fasilitas publik, kesejahteraan dan jaminan sosial.”

Sebagian politisi percaya, bahwa urbanisasi dapat mematikan ekonomi perdesaan. Juga, banyak walikota dan gubernur yang tidak welcome terhadap buruh migran.

Anda mungkin masih ingat, razia KTP, operasi Justisia dan sejenisnya yang dulu ramai dilakukan aparat dinas kependudukan untuk mencegah kedatangan penduduk desa ke ibukota.

Berpikir Terbalik
Di dunia ini, kita memang tengah disuguhi cara-cara baru yang memutar balik cara berpikir kita. Sekolah-sekolah yang mengajarkan teori-teori dahulu di bagian depan perkuliahan, baru praktik pun sudah dibalik.

Dulu kita biasa mengenal birokrasi yang “Kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat.” Kini para walikota berebut prestasi adu cepat melayani.

Baiklah, saya ajak Anda kembali melihat bagaimana Tiongkok memutarbalikkan pikiran kita dalam menghadapi urbanisasi.

Majalah Businessweek (17/03/2014) belum lama ini menurunkan berita “China Wants its People in the Cities.” Kemudian harian New York Times (17/03/2014) melaporkan paket kebijakan ekonomi baru Tiongkok yang memindahkan jutaan petani ke kota-kota besar.

Saya pikir, kalau itu dilakukan di Indonesia sudah pasti gaduh. Tetapi mengapa cara Tiongkok ini malah diikuti India dan bangsa-bangsa Asia lainnya.

Di situ saya jadi teringat dengan gagasan filsuf besar Plato tentang polis (semacam kota) yang dihuni 5.000 jiwa. Untuk ukuran saat itu sudah cukup besar dan mampu memicu partisipasi publik dan efisiensi.

Lalu sejak itu bangsa-bangsa besar memacu lahirnya kota-kota baru. Thebes (Mesir, 1050 SM) 50.000 jiwa. Babilon (Irak, 500 SM) 150.000 jiwa. Athena (Yunani, 423 SM) 300.000 jiwa.

Kemudian Pataliputra (India 300 SM) 400.000 jiwa. Roma (98-117 SM) 1,6 juta jiwa. London (Inggris, 1900) 6,5 juta jiwa. Kemudian New York (1940), 7,45 juta jiwa.

Roma bahkan membuktikan kemampuannya mengalirkan air bersih berpuluh-puluh kilometer.

Setelah itu kita saksikan kepadatan beralih ke Asia di awal abad 21. Tokyo, Jakarta, Shanghai, Delhi, Manila, Seoul, Karachi, dan Beijing. Semuanya di atas 20 juta jiwa.

Transformasi Ekonomi
Mengapa Tiongkok memindahkan penduduknya ke kota?

Saya mulai mengerti saat mendengar paparan para ahli tentang ambisi Tiongkok dalam diplomasi kereta cepat. Apalagi gagasan itu menimbulkan banyak gesekan di sini.

Setelah di sini, satu-dua tahun ke depan Tiongkok diduga membangun KA Cepat Singapura-Malaysia.

Pertarungan itu jelas membuat Jepang terusik, karena amat mengganggu proyeksi pendapatan dari ekspor otomotifnya.

Ekonom Tiongkok begitu yakin bahwa mereka akan memenangkan contest di Asia Tenggara.

Kita semua tahu bahwa Tiongkok baru 12 tahun masuk dalam industri kereta cepat ini. Tetapi dalam tempo yang singkat itu, mereka sudah membangun jaringan sejauh 17.000 KM.

Safety Index-nya juga sudah menempati skor 4, jauh di atas kereta cepat Jepang yang hanya baru membangun sejauh 3.000 KM (sejak 1960).

Apesnya Tiongkok cuma satu: kita sudah biasa melihat sepeda motor China yang kualitasnya jauh di bawah Jepang. Lagi pula kita biasa melihat kecelakaan kereta api dalam sepuluh tahun belakangan ini.

Ini persis seperti diplomasi otomotif dan tekstil dari Jepang tahun 1970-an yang memicu sentimen negatif di Jakarta (Malari 1974). Kita saat itu tahunya Jepang hanya mampu membuat sandal jepit dan bemo yang ringkih.

Jepang saat itu sungguh menjengkelkan. Apalagi ditengarai adanya kolusi dengan regulator dan petinggi militer. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu,  Jepang berhasil memperbaiki kualitas produk dan perilakunya.

Metode manajemen Jepang yang didukung disiplin, kontrol yang ketat, budaya korporat, dan sistem yang baku (dan ramping) menarik perhatian dunia. Otomotif, alat berat, mesin dan alat-alat hiburannya kita terima dengan baik di sini.

Besar kemungkinan Tiongkok kini mengkopi semua itu dengan cepat. Buktinya, investasi global pun hijrah ke negara itu.

Bahkan sejak dipimpin Ignasius Jonan, ribuan pegawai PT Kereta Api Indonesia disekolahkan di perusahaan-perusahaan Kereta Api Tiongkok.

Maka, saya agak bingung membaca berita-berita yang menuntut agar kita memilih Jepang.

Selain meminta jaminan finansial dari negara dan harganya lebih mahal, kita ketahui Jepang ingin menunda pembangunan kereta cepat di sini sampai industri otomotifnya saturated (jenuh).

Itu sebabnya, para pengamat yang terbiasa bekerjasama dengan Jepang selalu mengatakan proyek KA Cepat China ini terlalu terburu-buru.

Mereka Bersahabat dengan Urbanisasi?

Tetapi baiklah kita kembali ke pertanyaan semula, mengapa Tiongkok memilih untuk bersahabat dengan urbanisasi?

    1. Pertama, urbanisasi harus dipandang sebagai sebuah kesempatan besar untuk mengangkat derajat kaum miskin yang selama ini menjadi penonton.
    2. Kedua, pembangunan menuntut skala ekonomis. Penyebaran penduduk secara luas dalam komunitas kecil-kecil mengakibatkan banyak rakyat yang terabaikan dan termarjinalkan.
      Produk yang dinikmati orang kota mereka bayar dengan harga tinggi, kesejahteraan sulit ditingkatkan. Pangan, obat, elektronik, kamera, semen dan energy menjadi mahal dan langka.
    3. Ketiga, dengan memindahkan petani ke kota, Tiongkok berhasil membangun pertanian skala besar di desa-desa yang dilengkapi dengan proses redistribusi lahan pertanian.
    4. Keempat, semua orang di abad ini membutuhkan cyber place, not just a place. A smart city, not just a city. Mereka semua berhak mendapatkan akses internet untuk memperbaiki kualitas pendidikan anak-anak mereka.
      Semuanya berhak mendapatkan air bersih yang berkualitas, sanitasi, transportasi publik, pendidikan, penerangan, jalan, kesehatan dan keamanan yang layak. Kota-kota baru seperti itu selama ini hanya dapat dinikmati kalangan menengah ke atas di perkotaan.

Begitulah Tiongkok dengan ambisi kereta cepatnya yang diikuti dengan program memindahkan penduduk ke kota. Tentu tak semuanya bisa kita perlakukan di sini, mengingat keanekaragaman budaya dan adat istiadat.

Tetapi untuk menghubungkan antar-kota, amat mungkin program transformasi ini menyentuh kita.

Saya membaca rencana ekonomi baru Tiongkok yang menyebutkan setiap kota dengan 200.000 penduduk dihubungkan dengan kereta biasa dan jalan raya. Sedangkan kereta cepat menghubungkan kota-kota yang penduduknya di atas 500.000 jiwa.

Tiongkok tampaknya serius menggarap pasar ini. Sebuah prediksi menemukan, sampai tahun 2025, ada 2,5 miliar jiwa penduduk bertempat tinggal di kota-kota besar Asia.

Kalau sudah begini, siap-siap kita menerima konsekuensinya di sini. Jepang yang tersudut jika bisnis otomotifnya terlalu cepat menua, akan memukul balik melalui jurus geopolitik yang bisa merepotkan kita.

Pertarungan kedua bangsa besar Asia itu akan menjadi semakin rumit kala India akan memasuki bisnis yang sama 10 tahun mendatang.

Namun dalam konteks pembangunan jalur kereta cepat, Indonesia bisa mendapat peluang sebagai negeri pembuat kereta yang efisien sebagai partner mereka, mengingat dua hal.

Pertama, kita punya bahan baku aluminium yang memadai dan PT Inalum yang tengah bertransformasi sebagai BUMN.

Kedua, demand kereta api di Indonesia amat besar dengan dibangunnya jalur-jalur kereta api baru, baik di DKI Jakarta, Bandung Raya, Surabaya (trem dan LRT), Palembang, Medan, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya.

Saya memilih untuk mencari jalan, menemukan peluang untuk memperbaiki kesejahteraan bangsa, ketimbang berkelahi dan buru-buru mengatakan tidak.

Urbanisasi tak bisa kita lawan, tapi bisa kita pakai sebagai alat bagi modernisasi ekonomi.

Kuncinya: berbagi kue dan bekerjasama, bukan berkelahi. Tapi mendiamkan urbanisasi bukanlah kebijaksanaan yang cerdas.

Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, antara lain menjadi anggota Pansel KPK sebanyak 4 kali dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi acuan dari bisnis sosial di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger.

Paradoks Yogyakarta

Dr Aprinus Salam, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM

AGAK mengherankan ketika Yogya menjadikan dirinya menjadi rumah yang penuh dengan keparadoksan. Rumah yang aslinya ramah dan berhati nyaman, tetapi sekarang banyak klithih bergentayangan. Rumah yang katanya ayem tentrem, tapi ternyata warganya memegang ranking banyak penyakit, seperti diabetes, kanker, stroke, bahkan sakit jiwa. Rumah yang katanya banyak orang berusia panjang, tapi sekarang banyak orang selesai hidupnya di usia pendek.

Rumah yang katanya kinerja Pemdanya salah satu yang terbaik, tapi tingkat kesejahteraan warganya termasuk yang paling rendah di Indonesia. Dikenal sebagai rumah pendidikan, tapi masih banyak yang tidak terdidik. Rumah yang dikenal penuh kepedulian, tapi sekaligus rumah paling intoleran. Sangat dikenal sebagai rumah budaya, tapi kehidupan ‘berbudaya’ tidak mendapat perhatian. Ada apa dengan Yogya?

Dalam konteks keparadoksan, Yogya sama sekali tidak istimewa. Walaupun tidak dalam data yang sangat ekstrem, kecenderungan seperti itu juga terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Kecenderungan itu hampir sama saja walau dengan ‘varian paradoksal’ yang berbeda. Kriminalitas, penyakit, dan kemiskinan terjadi di mana-mana. Masalahnya ini Yogya. Di sini letak keistimewaannya.

Bagaimanapun, masyarakat Indonesia pada umumnya masih memiliki persepsi dan ingatan bahwa Yogya itu rumah yang ramah, santun, aman, dan nyaman. Dengan demikian, jika persepsi dan ingatan itu terganggu/diganggu dengan bergentayangannya klithih, atau kriminalitas  lainnya, maka Yogya langsung jadi sorotan. Dengan pertanyaan, kok bisa? Ada apa dengan Yogya?

Jika kemudian ada informasi bahwa penyakit tertentu di Yogya termasuk yang tinggi di Indonesia, atau jika ada informasi Yogya merupakan salah satu wilayah paling intoleran di Indonesia, maka langsung saja Yogya menjadi pusat perhatian. Dengan pertanyaan, loh kok bisa? Ada apa dengan Yogya?

Dengan demikian, sebetulnya yang sangat terganggu dengan berbagai masalah yang dihadapi Yogya belakangan ini adalah terganggunya persepsi dan kenangan indah tentang Yogya. Ketergangguan itu menimbukan pertanyaan dan sekaligus ketidakpercayaan, apa benar Yogya telah berubah demikian drastis.

Di balik pertanyaan dan ketidakpercayaan itu sebetulnya menyimpan harapan bahwa kalau bisa Yogya tidak seperti itu. Kalau bisa Yogya masih bisa menjadi oase kenyamanan. Kalau bisa Yogya masih bisa menjadi oase dan model bagaimana keragaman dan multikulturalisme bisa berlangsung dengan cantik di Yogyakarta. Kalau bisa, Yogya tetap menjadi oase ketenteraman.

Itulah sebabnya, masyarakat Yogya perlu kerja keras dan kompak untuk mengembalikan persepsi dan kenangan yang indah itu, entah bagaimana caranya. Mungkin salah satu caranya adalah dengan memperbanyak forum dialog lintasagama, lintasetnis dan budaya, lintaskomunitas. Ruang publik untuk kolaborasi dan persentuhan kultural antara berbagai perbedaan tersebut juga perlu diperbanyak.

Begitulah, Yogya sekarang memang bukan tiga atau empat puluh tahun yang lampau. Yogya sekarang adalah Yogya yang macet, Yogya yang memegametropolis. Yogya yang serba cepat, Yogya yang serba campur aduk dan tumpang tindih dalam berbagi persoalan dan kepentingan. Yang paling menyedihkan sangat mungkin Yogya yang terkooptasi oleh kapitalisme akhir dan/atau hipermodernitas.

Berdasarkan alur kesejarahan perkembangan modernitas, tampaknya Yogya tidak memiliki kemampuan yang memadai bagaimana mengelola akselerasi kapitalisme. Yang terjadi adalah Yogya yang mengkapitalisme, bukan kapitalisme yang menyogya. Ketika yang terjadi Yogya yang mengkapitalisme, maka akan sangat banyak ketidaksiapan masyarakat menghadapinya.

Implikasi dari ketidaksiapan itu yang paling menonjol adalah stres. Ini tentu akan mengganggu banyak sistem kesehatan, baik kesehatan fisik maupun non-fisik. Implikasi lain adalah berbagai bentuk radikalisasi untuk kembali merebut identitas yang ketelingsut.  Terjadilah berbagai kegiatan spontan untuk seolah siap menjadi bagian dari masyarakat kapitalis. Berbagai bentuk ekstrimitas hoax dan efek perilaku dari hoax adalah sisi lain dari berbagai sikap, tindakan, dan perbuatan yang tidak kondusif.

Apapun yang terjadi, kita perlu menancapkan satu strategi yang komprehensif, terutama dalam mengelola secara bijak dan cerdas mengatasi kooptasi kapitalisme akhir/hipermodernitas. Mungkin terdengar klise dan klasik, tapi penyakit yang kita hadapi sebetulnya juga bersifat klise dan klasik. Sejarah harus didaur ulang dengan cara yang inovatif dan berdaya guna.

krjogja hari ini dalam kolom analisis kr

Penipu yang lebih cocok jadi pelawak

Seperti biasa, sehabis isi pulsa, bermunculanlah sms-sms yang memberitahukan bahwa kita beruntung mendapat suatu undian berhadiah. Tentu saja, kita tak perlu ambil pusing masalah ginian.

Namun pertanyaannya, dia dapet info bahwa suatu nomor hp habis isi pulsa itu dari mana? Pilihannya:
a. Operator telekomunikasi
b. Vendor pengisi pulsa
c. Agen isi pulsa
d. Bukan ketiga-tiganya
e. A dan B benar
f. B dan C salah
g. Semua benar
h. Semua salah

Dadi kelingan jaman melu UMPTN 🙂

Apapun jawabannya, tak akan menghentikan kiriman sms-sms gituan.

Sekarang, kita lihat isi sms dari nomor 085603951337. Ini saya salin apa adanya:

“maaf kami sudah menghubungi tp tida tersambung no anda meraih hadiah ke-2 dri PT.MTRONIK PIN.anda 987A33G cek hadiah di http://www.hadiahmtronik13.blogspot.com”

Karena lagi ngga ada kerjaan dan memang sebenernya lagi males ngapa-ngapain, hasrat untuk melihat website keberuntungan itu memuncak.

http://hadiahmtronik13.blogspot.co.id/ (Title tag:PESTA IS ULANG MTRONIK 2017)
IS nya memang salah ketik

Hal yang menarik adalah mereka pakai blogspot. Yang kedua, ada angka 13. Kenapa 13? Kok ngga 12? atau tanpa angka aja?

Ternyata ada alamat http://hadiahmtronik12.blogspot.co.id dengan title tag PESTA ISI ULANG MTRONIK 2017.

Kok ngga hadiahmtronik aja, tanpa angka? Ternyata ada juga alamat http://hadiahmtronik.blogspot.co.id dengan title tag “mtronik.com”. Judul atasnya “Pemenang Undian M-tronik 2014”.

Besok-besok mungkin angkanya bisa sampe 100, karena ternyata ganti tahun ganti blog baru.

Dua blog 12 dan 13 dibuat oleh https://www.blogger.com/profile/02479651087145949315 yang mendaftar blogger sejak Februari 2017.

Selanjutnya, kita buka isi hadiahmtronik13 karena kandungannya lebih lucu daripada yang hadiahmtronik. Isi saya kutip apa adanya:

KETERANGAN

 

  • Di harapkan kepada para pemenang untuk tidak menyebar luaskan mengenai Hadiah ini sebelum hadiah diterima, umtuk menghindari adanya pemalsuan pemenang, iri hati & cemburu sosial. UUD No.32  Pasal 331 ayat-23, Tentang Kecemburuan sosial sesama masyarakat
  • Pengundian sudah dilakukan di hadapan Notaris dan disaksikan oleh pihak dinas Sosial RI, Pemda DKI jkt dan jajaran Manajemen PT.M-TRONIK,Tbk
  • Mohon maaf bila pencantunan Nomor Pemenang tidak kami cantumkan secara lengkap    demi menghindari unsur-unsur yang tidak bertanggung jawab (penggandaan nomor/pemalsuan pemenang),

 

    1. Pemenang resmi kami akan mendapatkan Komfirmasi melelui SMS/Pesan singkat yang
    2. mencantungkan situs undian resmi PT.M-TRONIK
    3. http://hadiahmtronik13.blogspot.co.id/
    4. Demi Kepuasan anda silahkan hubungi kami mulai pukul 07.00-21.00 WIB’ PT.M-TRONIKberalamatkan di Graha PT.M-TRONIK Lot E4-7 No.1 Jalan. Mega Kuningan, Jakarta Selatan 12950

 

  • Demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan secara bersama kami harapkan kerja samanya,agar pemenang tidak telalu menyebar luaskan informasi ini kepada masyarakatluas,jangan sampai ada yang menghubungi kami dengan mengaku-ngaku dari kalangan keluarga pemenang, bisa-bisa hadiahnya jatuh kepada orang lain
  • Agar supaya tidak terjadi penggandaan dan pemalsuan nomor, pemenang diharapkan agar pemenang bisa melaporkan Nomor PIN dengan benar, sesuai yang tertera dalam daftar pemenang di Via telepon Via Ponsel:0857-4802-7999 sebagai pelayanan komfirmasi

 

PENGESAHAN HADIAH

  1. Hadiah anda bisa di antarkan langsung kealamat anda, sesuai dengan data di kartu identitas anda sebagai pemenang
  2. Hadiah uang tunai bisa kami transfer melalui via Rekening yang anda miliki sendiri/milik keluarga terdekat seperti (BRI,BNI,BCA,MANDIRI,DANAMON,MUAMALAT,dll)
  3. Batas Pengambilan hadiah berlaku selama 2 hari, apabila pemenang tidak mengurus hadiahnya sampai batas waktu yang ditentuakan, maka hadiah tersebut akan dialihkan pada kandidat pemenang yang lain dan kewajiban kami kepada pemenang sudah tidak ada lagi.

     SYARAT & KETENTUAN HADIAH

  1. Hadiah Mobil & Motor diantarkan langsung Ke alamat pemenang melalui jasa penerbangan, dengan menggunakan pesawat kargo BOEING C.130 dari halim perdana kusuma menuju kebandara atau lapangan penerbangan yang terdekat di daerah pemenang. Setelah pemenang melunasi biaya Administrasi balik Nama STNK/BPKB Sebesar: Rp.1.700.000,-(kendaraan Mobil) dan Rp.850.000,-(kendaraan Motor) melalui BANK setempat ditujukan  ke Rekening yang dipercayakan oleh pihak Samsat Metro Jaya.
  2. Untuk pemenang Uang Tunai, akan di Transfer ke Rekening Pemenang atau Rekening keluarga terdekat,setelah menyelesaikan biaya Administrasi Jaminan sementara sebagai Bukti bahwa selaku Pemenang resmi dari PT.M-TRONIK sebesar Rp.750.000,- Untuk Rekening tujuan Hubungi Nomor Pelayanan: 0857-4802-7999
  3. Untuk melaporkan alamat dan Data Identitas anda, Silahkan Hubungi Pelayanan Informasi Melalui Telepon: 0857-4802-7999 Atas Nama Bapak INDRA GUNAWANG
  4. Pihak pemenang yang mengeluarkan dana Administrasi di harapkan untuk tidak perlu khawatir Karena Seluruh pengeluaran pemenang  hanya bersifat sementara saja, dan pihak Perusahaan PT.M-TRONIK siap untuk mengganti semua dana yang dikeluarkan oleh pihak pemenang.

Dasar Hukum


Cek telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 178 sampai dengan Pasal 229. Bilyet Giro telah diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 28/32/KEP/DIR tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro.

  PERHATIAN!!!

Biaya Administrasi disarankan tidak di serahkan melalui tangan-ketangan, demi menghindari hal hal yang tidak di inginkan,

      Apabila Kendaraan sudah sampai, pemenang harus menandatangani. SURAT SERAH TERIMAH HADIAH dari .PT.M-TRONIK
      Apabila Syarat & Ketentuan tidak dipenuhi sesuai ketentuan yang diatas kami tidak bertanggun jawab apabila Hadiah anda akan kami realisasikan kepada pemenang cadangan yang sudah di siapkan oleh Perusahaan sesuai dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh PT.M-TRONIK

Asal ngetik, tak dibaca ulang, komfirmasi, kenapa ejaannya selalu berulang komfirmasi? model orangnya seperti apa?

 

Ketimpangan Sosial – Buku Pelajaran Sosiologi SMA

Pengertian

Ketimpangan sosial adalah kesenjangan atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

Hakikat Ketimpangan Sosial

Naidoo dan Wills: ketimpangan sosial merupakan perbedaan-perbedaan dalam pemasukan, sumber daya, kekuasaan, dan status di dalam dan antara masyarakat.
Andrianof Chaniago: ketimpangan sosial adalah buah dari pembangunan yang hanya berfokus pada aspek ekonomi dan melupakan aspek sosial.

Ketimpangan sosial tidak sama dengan perbedaan sosial yang dikategorikan ke dalam stratifikasi dan diferensiasi sosial. Ketimpangan sosial dikategorikan sebagai masalah sosial karena terdapat ketidakadilan dalam kontribusi masyarakat dari beberapa aspek kehidupan. Berikut ini adalah prinsip-prinsip ketidakadilan (mantep, ketidakadilan aja ada prinsipnya), yaitu:

  • Elitisme efisien
  • Pengecualian diperlukan
  • Prasangka adalah wajar
  • Keserakahan adalah baik, dan
  • Putus asa tidak bisa dihindari.

Ketidakadilan tersebut dapat berbentuk:

  1. Marginalisasi, proses pemusatan hubungan kelompok-kelompok tertentu dengan lembaga sosial utama. Semakin besar perbedaan, semakin mudah kelompok dominan meminggirkan kelompok lemah.
  2. Stereotipe (pelabelan), pemberian sifat tertentu secara subjektif terhadap seseorang berdasarkan kriteria tertentu. Misalnya, anggapan bahwa kebanyakan masyarakat A memiliki sifat pelit, padahal anggapan tersebut belum tentu benar adanya.
  3. Subordinasi, pembedaan perlakuan identitas tertentu. Misalnya, Politik Apartheid, lebih mengutamakan orang-orang berkulit putih daripada orang berkulit hitam.
  4. Dominasi, kondisi dengan ciri satu kelompok memegang kekuasaan secara sewenang-wenang. Misalnya, pada masa penjajahan Belanda terhadap Indonesia dimana rakyat dipaksa untuk kerja rodi.

Teori Ketimpangan Global

Teori Kolonialisme
Di mulai di Inggris sekitar tahun 1750 ketika industrialisasi menyebar di seluruh Eropa Barat. Teori ini merujuk pada satu negara yang menjadikan banyak wilayah sebagai koloninya. Kegiatan ini diawali oleh negara industri (kapitalis) dengan cara menanamkan sebagian keuntungannya ke dalam persenjataan yang tangguh dan kapal, kemudian digunakan untuk menyerbu negara yang lemah untuk dijadikan koloninya. Setelah bangsa yang lemah takhluk, mereka akan mengeksploitasi tenaga kerja dan sumber daya bangsa tersebut.

Teori Sistem Dunia
Dikemukakan oleh Immanuel Wallerstein. Hasil analisisnya, industrialisasi menghasilkan tiga kelompok bangsa, yaitu:

  • Negara inti, negara yang lebih dulu melakukan industrialisasi dan mendominasi negara yang lemah. Negara inti yaitu negara-negara di Eropa Barat, misalnya Inggris, Belanda, Spanyol, Portugis.
  • Negara semiperiferi, negara yang bergantung pada perdagangan negara inti. Negara semiperiferi yaitu negara Eropa Selatan.
  • Negara periferi, negara pinggiran. Negara periferi yaitu negara di kawasan Asia dan Afrika.

Teori Ketergantungan
Keterbelakangan sebagai akibat suatu sistem kapitalis internasional yang dominan (berbentuk perusahaan-perusahaan multinasional) dan bersekutu dengan Dunia Ketiga untuk mempertahankan kedudukan mereka. Dunia Ketiga adalah negara yang tidak masuk Dunia Pertama (negara kapitalis) dan Dunia Kedua (negara komunis). Perkembangan antara negara industri dan keterbelakangan negara dunia ketiga berjalan bersamaan. Ketika negara industri berkembang, negara dunia ketiga semakin terbelakang oleh kolonialisme dan neokolonialisme.

Pendekatan Struktural
Pendekatan Struktural adalah cara lain untuk memandang ketimpangan dunia dalam hal kesejahteraan dan kekuasaan. Pendekatan ini memandang bahwa kemiskinan dan ketergantungan Dunia Ketiga tidak disebabkan oleh keputusan kebijakan yang sengaja dibuat di Amerika, Inggris, atau Moskow. Ketergantungan ini sebenarnya berasal dari struktur sistem internasional sehingga bangsa-bangsa pengekspor bahan mentah terpaksa kehilangan bagiannya dari keuntungan produksi.

Menurut Raul Presbisch, sistem perdagangan bebas merugikan negara-negara pengekspor bahan mentah (negara periferi) dan menguntungkan negara-negara industri kaya yang mengekspor hasil industri (negara-negara pusat).

Teori Fungsionalis
Ketidaksetaraan tidak bisa dihindari dan memiliki fungsi penting dalam masyarakat. Menurut Kingsley Davis dan Wilbert Moore, penyebab ketidaksetaraan dan stratifikasi masyarakat adalah sebagai berikut:

  • Masyarakat harus memastikan bahwa posisi-posisinya terisi.
  • Beberapa posisi lebih penting daripada yang lain.
  • Posisi-posisi yang lebih penting harus diisi oleh  orang yang lebih berkualifikasi.
  • Untuk memotivasi orang yang lebih berkualifikasi agar mengisi posi-posisi ini, masyarakat harus menawarkan imbalan lebih besar.

Teori Konflik
Ketimpangan sebagai akibat dari kelompok dengan kekuatan mendominasi kelompok yang kurang kuat. Kesenjangan sosial, mencegah dan menghambat kemajuan masyarakat karena orang-orang yang berkuasa akan menindas orang-orang tak berdaya untuk mempertahankan status quo. Masyarakat akan selalu mengalami konflik secara terus menerus.

Karl Mark adalah tokoh konflik pertama yang memandang bahwa kapitalisme akan memperjelas perbedaan kelas antarindividu. Hal ini terlihat dari konflik antara kaum borjuis dan kaum proleter, dimana kaum borjuis berusaha untuk menguasai alat-alat produksi.

Teori Pertumbuhan Neoklasik
Dikemukan oleh Gouglas C. North. Teori ini memunculkan  prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Teori neoklasik ini memunculkan Hipotesis Neoklasik, ketimpangan pembangunan pada awal proses meningkat. Setelah berangsur-angsur, ketimpangan pembangunan antarwilayah tersebut semakin menurun.

Cara Sosiolog Memandang Ketimpangan Sosial

Kesenjangan sosial sebagai masalah sosial mencakup tiga dimensi, yaitu:

  1. Kondisi struktural objektif, yaitu hal-hal yang dapat diukur secara objektif dan berkontribusi terhadap ketimpangan sosial. Misalnya, tingkat pendidikan, kekayaan atau kemiskinan, pekerjaan.
  2. Dukungan ideologis, mencakup hal-hal yang mendukung ketimpangan sosial yang terdapat di masyarakat. Misalnya undang-undang, kebijakan publik, nilai-nilai di masyarakat.
  3. Reformasi sosial, mencakup perlawanan terorganisasi, kelompok-kelompok perlawanan, dan gerakan-gerakan sosial.

Faktor Penyebab Ketimpangan Sosial

Kondisi Demografis
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia, demografi merupakan ilmu yang mempelajari tentang masalah kependudukan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Kondisi demografis antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan. Letak perbedaan tersebut dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut.

  • Jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang besar tidak sebanding dengan fasilitas yang ada, misalnya lapangan pekerjaan, pelayanan umum, akan menyebabkan banyak masyarakat memiliki tingkat kesejahteraan yang kurang.
  • Komposisi penduduk. Yaitu komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin. Misalnya, dalam suatu daerah terdapat penduduk dengan umur 35 tahun diatas lebih banyak, maka daerah tersebut dapat disimpulkan memiliki angka kelahiran rendah dan angka kematian tinggi. Hal ini mempengaruhi pertumbuhan penduduk tersebut, adanya ketidakseimbangan tersebut dapat memengaruhi keadaan sosial ekonomi.
  • Persebaran penduduk. Merupakan bentuk penyebaran penduduk di suatu wilayah atau daerah. Adanya persebaran penduduk yang tidak merata menimbulkan pembangunan yang hanya terpusat pada satu daerah. Hal ini akan menimbulkan kemiskinan bagi penduduk yang tidak dapat bersaing dengan perkembangan pembangunan daerah.

Kondisi Pendidikan
Pendidikan merupakan kebutuhan bagi semua orang. Pendidikan suatu bangsa menjadi faktor penunjang pembangunan bangsa, terutama pembangunan sumberdaya manusia. Pendidikan dapat dikatakan berhasil, salah satunya dengan meningkatnya aksesbilitas berdasarkan gender. Artinya, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Misalnya, anak-anak di desa memiliki semangat belajar yang tinggi meskipun dengan fasilitas terbatas, berbeda dengan remaja yang berada di kota. Dengan fasilitas mencukupi, sebagian dari mereka semangat belajarnya berkurang akibat terpengaruh oleh lingkungaan yang kurang baik. Adanya perbedaan ini menimbulkan ketimpangan sosial. Ketidakadilan tersebut dapat dilihat dari ketersediaan fasilitas, kualitas tenaga kerja, dan mutu pendidikan.

Kondisi Kesehatan
Ketimpangan sosial di bidang kesehatan dapat muncul, dikarenakan penyebaran fasilitas kesehatan yang  tidak merata di setiap daerah, jangkauan kesehatan yang kurang, pelayanan kesehatan yang kurang memadai maupun faktor lainnya dapat menyebabkan tingkat kesejahteraan antara masyarakat satu dengan yang lainnya berbeda.

Kondisi Ekonomi
Ketimpangan ini timbul akibat tidak meratanya penyebaran pembangunan ekonomi. Adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi antar daerah menyebabkan daerah yang memiliki sumber daya dan faktor produksi, terutama memiliki barang modal akan memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah yang memiliki sedikit sumber daya.

Faktor Struktural
Berkaitan erat dengan tata kelola yang merupakan kebijakan pemerintah dalam menangani masyarakat yang bersifat legal formal maupun kebijakan dalam pelaksanaannya.

Indonesia menganut paham demokrasi sehingga aturan yang ada diperuntukkan bagi kepentingan rakyat yang diutamakan. Kurangnya asset informasi tentang kebijakan pemerintah dapat mengakibatkan tidak berjalannya pelaksanaan pembangunan dan pemerataan pembangunan.

Sebagai penyelenggara negara, negara harus menjadi pelopor demokrasi yang dapat dijadikan teladan bagi masyarakat sehingga stabilitas terjaga dan kesejahteraan sosial terwujud.

Negara Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan masyarakatnya majemuk sehingga memiliki potensi konflik yang besar. Untuk itu, penyelenggara negara harus mampu berperan sebagai:

  • Dinamisator, pemerintah berkewajiban menumbuhkan simpati para penyelenggara negara terhadap masyarakat, demikian pula sebaliknya.
  • Mediator, harus mampu berlaku adil dalam menyelesaikan masalah di masyarakat dan memiliki wawasan kebangsaan yang kuat.
  • Katalisator, harus mampu mengarahkan diri sebagai pengatur dan pengendali permasalahan yang muncul dari kebijakan yang dikeluarkan.

Faktor Kultural
Berkaitan dengan sifat atau karakter masyarakat dalam melaksanakan kehidupannya. Misalnya, sifat malas atau rajin, ulet atau mudah menyerah.

Berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Misalnya, masyarakat menganggap budaya hemat dan menabung tidak penting bagi kehidupan.

Budaya birokrat para penyelenggara negara juga dapat menimbulkan ketimpangan yaitu berperilaku sewenang-wenang terhadap rakyat.

Bentuk-Bentuk Ketimpangan Sosial

Menurut Adrinof  Chaniago terdapat enam ketimpangan yang terjadi yaitu sebagai berikut:

  1. Ketimpangan desa dan kota. Hal ini ditandai dengan adanya arus urbanisasi yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota sehingga menyebabkan tingkat kesejahteraan di desa menurun dan berakibat semakin banyaknya pemukiman kumuh, kriminalitas, pengangguran di kota.
  2. Kesenjangan pembangunan diri manusia Indonesia.
  3. Ketimpangan antargolongan sosial ekonomi yang diperlihatkan dengan semakin meningkatnya kesenjangan ekonomi antar golongan-golongan dalam masyarakat. Kesenjangan ekonomi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
    • Menurunnya pendapatan per kapita akibat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi tanpa ddiiringi peningkatan produktivitas.
    • Ketidakmerataan hasil pembangunan antardaerah.
    • Rendahnya mobilitas sosial akibat sikap mental tradisional yang kurang menyukai persaingan dan kurang usaha.
    • Hancurnya industri kerajinan rakyat akibat monopoli pengusaha bermodal besar.
  4. Ketimpangan penyebaran aset di kalangan swasta dengan cirri sebagian  besar kepemilikan  aset di Indonesia terkonsentrasi pada skala besar.
  5. Ketimpangan antar sektor ekonomi dengan ciri sebagian sektor, misanya property, mendapat tempat yang istimewa.
  6. Ketimpangan antarwilayah dan subwilayah dengan ciri konsentrasi ekonomi terpusat pada wilayah perkotaan, terutama ibu kota, sehingga daerah hanya mendapatkan konsentrasi ekonomi yang sangat kecil.

Akibat Ketimpangan Sosial

Kriminalitas
Kriminalitas atau kejahatan adalah suatu perbuatan atau tingkah laku yang merugikan orang lain sebagai korban dan juga merugikan masyarakat.

Menurut Soerjono Soekanto, tindakan kriminal disebabkan oleh kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya, seperti proses imitasi, persaingan, dan pertentangan kebudayaan.

Penyebab munculnya tindakan kriminal dapat dijelaskan dalam dua teori sebagai berikut:

  1. Teori Asosiasi Diferensial (Sutherland). Kegiatan kriminal sebagai hasil sosialisasi nilai-nilai dari satu kelompok yang berbenturan dengan nilai-nilai kelompok yang lebih kuat.
  2. Teori Ketegangan (Robert K. Merton). Penyimpangan yang paling mungkin terjadi ketika ada ketidaksesuaian antara tujuan yang dianggap baik oleh masyarakat dan cara untuk memperolehnya. Sebagai contoh, seesorang yang ingin menjadi kaya, tetapi dalam proses pencapaiannya menggunakan cara-cara kotor seperti korupsi, penyelundupan uang.

Monopoli
Monopoli adalah suatu pengusahaan pasar yang dilakukan oleh seseorang atau perusahaan untuk menguasai penawaran pasar (penjualan barang dan jasa di pasar) yang ditujukan kepada para pelanggannya. Monopoli sebagai akibat dari ketimpangan sosial akan mengganggu kesempatan produk-produk baru yang berkualitas hasil dari kreativitas masyarakat.

Ciri-ciri monopoli adalah sebagai berikut:

  1. Penguasaan pasar, pasar dikuasai oleh sebagian pihak saja.
  2. Produk yang ditawarkan biasanya tidak memiliki saingan.
  3. Pelaku praktik monopoli dapat mempengaruhi harga produk.
  4. Sulit bagi pengusaha lain untuk memasuki pasar.

Diskriminasi
Dalam Ensikopedia Nasional Indonesia dijelaskan diskriminasi berasal dari bahasa Inggris yaitu discrimination  yang artinya sikap atau tindakan membeda-bedakan. Menurut Setiadi, faktor penyebab munculnya diskriminasi adalah sebagai berikut:

  • Adanya persaingan yang semakin ketat dalam berbagai kehidupan.
  • Adanya tekanan dan intimidasi yang dilakukan oleh kelompok dominan terhadap kelompok atau golongan yang lebih lemah.
  • Ketidakberdayaan golongan miskin dan intimidasi yang membuat terpuruk dan menjadi korban diskriminasi.

Contoh bentuk diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat adalah sebagai berikut:

  1. Diskrimiasi ras. Diskriminasi ras pernah terjadi pada masyarakat Afrika Selatan yang dikenal dengan politik apartheid, dimana golongan orang-orang kulit putih menduduki lapisan sosial lebih tinggi daripada golongan orang-orang berkulit hitam. Politik tersebut menggolongkan masyarakat berdasarkan jenis kulit.
  2. Diskriminasi agama. Yaitu memperlakukan orang berbeda karena apa yang mereka percaya dan tidak percaya berdasarkan agama. Faktor yang mempengaruhi diskriminasi agama, seperti keyakinan agama yang dianut, adanya perbedaan agama dalam satu kelompok, adanya praktik keagamaan.
  3. Diskriminasi gender.  Perbedaan sikap dan perlakuan terhadap seseorang berdasarkan jenis kelamin dapat menyebabkan ketimpangan sosial.

Disharmoni Kehidupan Beragama
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki keberagaman. Sebagai contohnya, masyarakat Indonesia memiliki agama Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Konghucu yang rawan terjadinya konflik yang dipicu karena adanya ketimpangan sosial. Disharmoni dalam agama juga dapat dipengaruhi oleh sikap fanatisme yang berlebihan sehingga menyebabkan memudarnya sikap toleransi masyarakat.

Etnosentrisme
Yaitu suatu sikap menilai kebudayaan kelompok atau masyarakat lain dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku di kelompok masyarakat, dengan kata lain mengganggap kebudayaannya lebih unggul dibandingkan kebudayaan lain. Etnosentrisme dapat menghambat hubungan antarkebudayaan, sehingga menghambat proses asimilasi dan integrasi serta dapat menimbulkan konflik SARA.

Melemahnya  Jiwa Wirausaha
Ketimpangan sosial menjadi penghambat minat seseorang untuk memulai usaha, penghambat keinginan untuk terus mempertahankan usaha, bahkan penghancur semangat untuk mengembangkan usaha lebih maju. Hal ini disebabkan seorang wirausaha dianggap remeh dalam perekonomian.

Kemiskinan
Keadaan seseorang yang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan tidak mampu memanfaatkan tenaga baik mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.

Pandangan tentang Kemiskinan

Philips dan Legates mengemukakan empat pandangan tentang kemiskinan, yaitu sebagai berikut:

  • Pertama, kemiskinan dilihat sebagai akibat dari kegagalan personal dan sikap tertentu, khususnya cirri-ciri sosial apsikologis individu dari si miskin yang cenderung menghambat untuk melakukan perbaikan nasibnya. Akibatnya, si miskin tidak melakukan rencana ke depan, menabung, dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
  • Kedua, kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang memiliki subkultur tertentu yang berbeda dari golongan yang tidak miskin, seperti memiliki sikap fatalis, tidak mampu melakukan pengendalian diri, berorientasi pada masa sekarang, tidak mampu menunda kenikmatan atau melakukan rencana bagi masa mendatang, kurang memiliki kesadaran kelas, atau gagal dalam melihat faktor-faktor ekonomi seperti kesempatan yang dapat mengubah nasibnya.
  • Ketiga, kemiskinan dipandang sebagai akibat kurangnya kesempatan. Kaum miskin selalu kekurangan dalam bidang keterampilan dan pendidikan untuk memperoleh pekerjaan dalam masyarakat.
  • Keempat, kemiskinan merupakan suatu ciri struktural dari kapitalisme bahwa dalam masyarakat kapitalis, segelintir orang menjadi miskin karena yang lain menjadi kaya.

Definisi Kemiskinan

Menurut Sutrisno, terdapat dua sudut pandang dalam memahami substansi kemiskinan di Indonesia yaitu sebagai berikut:

  1. Kelompok pakar dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengikuti pikiran kelompok agrarian populism bahwa kemiskinan itu hakikatnya adalah masalah campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat pedesaan. Dalam pandangan ini, orang miskin mampu membangun diri mereka sendiri apabila pemerintah memberi kebebasan bagi kelompok tersebut untuk mengatur diri mereka sendiri.
  2. Kelompok para pejabat yang melihat inti dari masalah kemiskinan sebagai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta, dan pendidikannya rendah. Selain itu, kemiskinan juga dikenal terkait dengan kualitas sumber daya manusia.

Kajian Chambers lebih melihat masalah kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation trap. Chamber mencoba menggabungkan dua sudut pandang dari luar kelompok miskin dengan mengembangkan lima unsure keterjebakan sebagai berikut:

  1. Kemiskinan itu sendiri
  2. Kelemahan fisik
  3. Keterasingan
  4. Kerentanan
  5. Ketidakberdayaan

Definisi Kemiskinan Menurut Para Ahli dan Lembaga

  1. Bappenas: Kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.
  2. Levitan: Kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.
  3. Faturchman dan Marcelinus Molo: Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan/atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
  4. Ellis: Kemiskinan merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi, sosial, dan politik.
  5. Suparlan: Kemiskinan adalah suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
  6. Reitsma dan Kleinpenning: Kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat materiel maupun nonmaterial.
  7. Friedman : Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi asset (tanah, perumahan, peralatan, dan kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pngetahuan dan keterampilan yang memadai, serta informasi yang berguna.

Budaya Kemiskinan

Menurut Oscar Lewis, budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, tetapi cenderung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi sebagai berikut:

  1. Sistem ekonomi uang, buruh upahan, dan sistem produksi untuk keuntungan.
  2. Tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil.
  3. Rendahnya upah buruh.
  4. Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi, dan politiknya secara sukarela ataupun atas prakarsa pemerintah.
  5. Sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral.
  6. Kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya. 

Ciri-ciri kemiskinan secara umum sebagai berikut:

  1. Angka kematian tinggi.
  2. Tingkat kesehatan rendah.
  3. Pendidikan rata-rata rendah.
  4. Sikap yang sulit menerima perubahan.
  5. Mata pencahariaan rendah  dengan penguasaan teknologi rendah.

Menurut Munandar masyarakat dikatakan miskin apabila memiliki ciri-ciri berikut:

  1. Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, keterampilan.
  2. Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal usaha.
  3. Tingkat pendidikan rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan.
  4. Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas, berusaha melakukan apa saja.
  5. Banyak yang hidup di kota berusia muda dan tidak mempunyai keterampilan.

Secara umum kemiskinan dibedakan menjadi dua, yaitu:

  • Kemiskinan yang bersifat kultural yang disebabkan oleh individu itu sendiri, misalnya adanya sifat malas, kurangnya keterampilan.
  • Kemiskinan yang bersifat struktural sebagai akibat sistem dan struktur yang ada.

Menurut Davis dengan teori fungsionalis dan stratifikasi, kemiskinan memiliki sejumlah fungsi, yaitu fungsi:

  1. Ekonomi, menyediakan tenaga kerja, menimbulkan dana sosial, memanfaatkan barang bekas.
  2. Sosial, menimbulkan altruisme dan perasaan, imajinasi bagi kesulitan hidup si kaya, ukuran kemajuan bagi kelas lain, memicu munculnya badan amal.
  3. Kultural, sebagai sumber inspirasi kebijakan teknorat dan satrawan, mempekaya budaya saling mengayomi antar manusia.
  4. Politik, sebagai kelompok gelisah atau masyarakat marginal.

Kemerosotan Moral
Bagi kelompok masyarakat kelas atas, kemerosotan moral berupa adanya sikap individualistik (sikap kurang peduli terhadap sesama) dan adanya sikap materialistik (menganggap uang dan kekuasaan adalah segala-galanya).

Sedangkan bagi kelompok yang kurang mampu atau kelas bawah, kemerosotan moral dapat dipicu oleh ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehingga terpaksa menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti mencuri, merampok.

Pencemaran Lingkungan Alam
Merupakan rusaknya tata lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia. Misalnya penggundulan hutan yang menyebabkan punahnya flora dan hilangnya habitat alam bagi fauna.

Dampak Ketimpangan Sosial

Dampak Positif

  1. Mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk bersaing.
  2. Meningkatkan pertumbuhan untuk kesejahteraan masyarakat

Dampak negatif

  1. Menimbulkan kecemburuan sosial.
  2. Adanya pembatasan hubungan sosial karena kedudukan sosial dalam masyarakat.
  3. Melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas.
  4. Adanya ketidakadilan dalam masyarakat.

Upaya Mengatasi Ketimpangan Sosial di Mayarakat

Peningkatan Kualitas Penduduk, yang dilakukan melalui beberapa usaha sebagai berikut:

  • Memperbaiki kualitas pendidikan
  • Meningkatkan fasilitas kesehatan, baik jumlah tenaga medis maupun peningkatan pelayanan kesehatan
  • Melakukan pemberdayaan kelompok di masyarakat, misalnya dengan memberikan penyuluhan atau pengarahan kepada masyarakat.
  • Mobilitas sosial, diartikan sebagai suatu perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini bertujuan untuk mengendalikan jumlah penduduk di suatu daerah, pemerataan penduduk juga harus diikuti pemerataan pembangunan agar tidak menimbulkan ketimpangan sosial.
  • Menciptakan peluang kerja. Jumlah penduduk yang besar apabila tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan akan mengakibatkan terjadinya pengangguran. Untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menciptakan peluang kerja di masyarakat.

Sumber:
Buku Sosiologi Kelas XII Penerbit Erlangga
Buku Sosiologi Kelas XII Penerbit Mediatama
Sosiologi XII Penerbit Viva Pakarindo
http://sinausosiologi15.blogspot.co.id/2016/10/ketimpangan-sosial.html

Menjadi kepingan kecil pemerata

Banyak yang membicarakan mengenai gini ratio, ketimpangan, kesenjangan, beberapa waktu terakhir. Terutama saya melalui blog ini.

Saya akui terlalu banyak pikiran merana memenuhi kepala. Arep sambat yo karo sopo?

Kita khalayak kebanyakan, terutama yang sempat membaca tulisan ini, yang sempat-sempatnya ngeblog di office hour, tentu tak terlalu merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang paling merasakan bagaimana sulitnya mencari duit.

Intinya, kelas menengah ngga terlalu kena dengan segala macam kesulitan hidup dibanding mereka yang bergaji UMR atau di bawahnya. Yang ketika tanggal 15, seperti hari ini, dompet sudah sepi, hanya sisa seribuan pas untuk kerokan.

Segala macam posting, komentar di fb, t, ig, seakan tak cukup untuk menuntut pemerintah untuk segera memerintahkan jajarannya mengatasi dengan segera. Meski malaikat juga tahu, bagaimana birokrasi negeri tercinta kita ini bekerja.

Tapi sebenarnya, kita pun bisa menjadi salah satu – sebagian kecil pemerata.

Cobalah renungkan…

Beli barang kebutuhan di pasar tradisional atau di supermarket?

Beli sayur di mbah Rono atau di Super****?

Beli supermi di ****maret atau di bu Joko?

Apakah anda sempat membeli sapu/ciduk yang lewat depan rumah?

Siomay mas-e yang lewat depan rumah atau pesen Go f**d?

Perabotan merek luar atau dalam negeri?

Branded atau home-hand product?

Beli baju di mall atau beli bahan batik Imogiri dan menjahitkannya di tailor timur perempatan?

Made in Kulonprogo atau made in papua new gini?

Korean style atau lokal style?

 

 

 

 

Kata Jokowi dan JK tentang ketimpangan Indonesia

Jokowi, Bisnis.com, 14 Maret 2017.

Bisnis.com, JAKARTA – – Presiden Joko Widodo menekankan kesenjangan ekonomi merupakan tantangan utama saat ini.

Hal itu dinyatakan Presiden saat bersilaturahim dengan pimpinan lembaga negara di Istana Merdeka, Selasa (14/3/2017).

Presiden menyampaikan, kondisi pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan perbandingan dengan negara-negara lain. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 sebesar 5,02%, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi pada 2015 sebesar 4,88%.

Saya kira yang paling berat saat ini memang kesenjangan dan apa yang sedang kita kerjakan panjang akan kita lakukan nantinya. Kami mohon masukan dari bapak ibu seluruh pimpinan lembaga negara yang hadir siang hari ini,” tutur Presiden, Selasa (14/3/2017).

Dalam beberapa kali pertemuan, Presiden Joko Widodo kerap menekankan soal kesenjangan ekonomi yang dilihat dari rasio gini saat ini sebesar 0,39. Pada Desember 2016, Jokowi menyatakan telah memerintahkan kepada Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution untuk mengkaji sebuah kebijakan komprehensif untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan sosial yang terjadi.

Presiden mengatakan silaturahim di antara seluruh pimpinan lembaga negara dapat menjadi pesan bagi masyarakat untuk terus menjaga persatuan dan kesatuan dalam menghadapi berbagai tantangan kebangsaan, tantangan global, dan ketidakpastian yang semakin berat.

JK, RRI, 14 Maret 2017.

KBRN, Jakarta : Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menyatakan Pemerintah akan merealisasikan kebijakan ekonomi pemerataan dan berkeadilan untuk mengurangi kesenjangan dengan menumbuhkan ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Gini rasio, Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), mencapai 0,4, di mana telah terjadi ketidakadilan ekonomi yang berdapak pada tingginya ketimpangan antara masyarakat kaya dan miskin.

Indonesia mempunyai tingkat keadilan yang rentan dengan ketimpangan ekonomi hingga 0,7. Untuk itu, Pemerintah segera melakukan kebijakan pemerataan ekonomi melalui pemberian subsidi Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang berkeadilan, serta peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan, guna mengurangi tingkat kesenjangan.

Kita akan bicarakan bahwa Pemerintah akan melaksanakan kebijakan ekonomi yang berkeadilan agar kesenjangan kita turunkan, sehingga bagaimana ekonomi diarahkan tumbuh dari bawah,” ungkap Wapres Jusuf Kalla kepada wartawan di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (14/3/2017).

Upaya untuk mengurangi ketimpangan ekonomi juga harus diikuti pemanfaataan semaksimal mungkin sejumlah potensi daerah. Setiap daerah di Indonesia mempunyai ciri khas pengembangan ekonomi yang dapat dikembangkan, guna mengurangi ketimpangan ekonomi masyarakatnya. Indonesia juga dinilai mempunyai demografi jumlah penduduk yang strategis untuk menjalankan ekonomi kerakyatan dan berkeadilan.

“Masyarakat yang selama ini kurang itu harus diberikan keberpihakan,” kata Jusuf Kalla.

Ketimpangan ekonomi di tanah air juga telah menunjukan angka ketimpangan yang signifikan, dimana empat orang terkaya di Indonesia mempunyai pendapatan sama dengan satu juta orang yang tidak mampu di tahan air. (QQ/HF)

 

Pendapat Mereka tentang Kesenjangan/Ketimpangan

Sri Mulyani, Kompas, 2-3-2017

“Kalau saya sebut rasio gini (melebar), bukan berarti yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin,” ujar Ani saat membuka sosialisasi Transfer Daerah dan Dana Desa di Jakarta, Kamis (2/3/2017).

Menurutnya, semua masyarakat Indonesia semakin kaya. Hanya saja kecepatan dari akumulasi kekayaan kelompok masyakat kaya dan miskin memiliki perbedaan.

Kelompok miskin, tutur dia, lebih lambat untuk menjadi kaya. Sementara bagi kelompok yang sudah kaya, justru lebih cepat untuk bertambah kaya.

Pemerintah, kata Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, harus bekerja keras mempersempit tingkat ketimpangan. Caranya yakni mengoptimalkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) oleh pemerintah pusat maupun daerah.

“Pesan dari sini, kita perlu gunakan instrumen dan desain pembangunan agar kesenjangan ini tidak semakin lebar,” kata Ani.

 

Sri Mulyani, Merdeka, 23-2-2017

Merdeka.com – Menteri Keuangan, Sri Mulyani membongkar penyebab masih tingginya ketimpangan antara si-kaya dan miskin atau gini ratio di Indonesia. Salah satunya adalah garis kemiskinan yang terus diwariskan dan tidak putus.

Ani, sapaan akrab Sri Mulyani menjelaskan, kemiskinan terus diwariskan karena seorang anak masih di janin ibu miskin saja sudah tidak punya peluang untuk menjadi sejahtera. Penyebabnya, anak tersebut sudah tidak tercukupi gizinya.

“Masyarakat miskin bisa diwariskan. Mereka miskin akhirnya anak tidak bisa sekolah. Di janin saja tidak dapat gizi cukup. Walaupun dia sekolah ada subsidi dari pemerintah, tapi anak itu tidak bisa berpartisipasi karena sudah tidak berkembang sejak di janin,” kata Ani di Hotel Aryaduta, Tugu Tani, Jakarta, Kamis (23/2).

Ani mengatakan, investasi pada janin menjadi salah satu penentu masa depan. Dia mencontohkan, seorang janin dalam perut ibu yang berstatus sarjana di Jakarta akan berbeda kualitasnya dengan janin yang berada di perut seorang ibu di NTT yang hanya lulusan SD.

“Sewaktu di perut mereka tidak punya peluang jadi orang sejahtera,” tegas Ani.

Melihat kondisi ini, Ani tidak hanya berdiam diri. Kebijakan fiskal terus diarahkan agar garis kemiskinan itu tidak terus diwariskan. Dana untuk daerah terus ditambah agar Pemda memperhatikan masyarakatnya.

“Kebijakan fiskal kita arahkan melalui porsi belanja Pemerintah RI. Sekarang anggaran kementerian di pusat sudah sama dengan dana untuk daerah. Bahkan daerah lebih banyak Rp 1 triliun,” katanya.

Banyaknya dana ini, Ani meminta Pemda untuk mengurangi atau menghilangkan warisan kemiskinan. “Ini salah satu kunci mengurangi kesenjangan atau gini ratio kita,” tutupnya.

 

Eni, BI, Republika, 28-2-2017

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Eni Panggabean mengatakan, tingkat ketimpangan masih cukup tinggi di Indonesia. Rasio gini mengalami stagnasi sejak 2011 di angka 0,4, dan sedikit membaik pada September 2016 di angka 0,39.

Penyebab dari masih tingginya rasio gini tersebut adalah karena akses masyarakat terhadap fasilitas keuangan masih rendah, atau masih tingginya unbank people. Saat ini, fasilitas keuangan hanya 16 kantor per 100 ribu penduduk. Rasio kredit terhadap PDB pun masih 33,6 persen.

“Akibatnya, masyarakat kesulitan menampung aset, habis untuk keperluan sehari-hari,” kata Eni, dalam Rembuk Republik yang digelar Republika di Museum BI, Jakarta Selasa (28/2).

 

Sri Mulyani, Kumparan.com, 17-2-2017

Pemerintah terus berusaha keras menurunkan angka ketimpangan pengeluaran atau gini ratio. Sebab, meskipun indeks gini ratio pada September 2016 menurun tipis menjadi 0,394 dibanding Maret 2016 sebesar 0,397, ketimpangan tetap dinilai masih tinggi.

Hal ini diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat mengisi kuliah umum dengan tema “APBN yang Efektif dan Kredibel untuk Membangun Negeri” yang digelar di Gedung Prof Soedarto Kampus Universitas Diponegoro, Tembalang, Kamis (16/2).

Acara ini juga dihadiri Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Civitas Akademika, dan ratusan mahasiswa Undip.

Oleh karena itu, untuk menurunkan angka ketimpangan, diperlukan kebijakan yang tepat seperti penyusunan instrumen fiskal yaitu APBN, kebijakan moneter bank sentral serta kebijakan ekonomi struktural berupa paket ekonomi yang kompetitif.

Tujuan pembangunan ekonomi Indonesia sudah jelas yaitu menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tujuan tersebut merupakan dua hal yang harus dicapai bersamaan,” jelasnya.

 

William Henley, Republika, 20-2-2017

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley *)

Awal Februari silam, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir sebuah temuan penting. BPS mencatat angka ketimpangan pengeluaran penduduk (gini ratio/rasio gini) per September 2016 sebesar 0,394. Angka tersebut menurun tipis dibandingkan Maret 2016 yang tercatat 0,397.

Rasio gini September 2016 juga lebih baik dibandingkan posisi September 2015 sebesar 0,402. Perbaikan rasio ini jelas menjadi kabar menggembirakan pada tahun Ayam Api ini. Sebelumnya pada2008, rasio gini hanya 0,35.

Namun dari tahun ke tahun nilainya meningkat menjadi 0,41. Perwakilan Bank Dunia di Indonesia mengemukakan, rasio gini Indonesia tinggi lantaran sejumlah faktor, antara lain sedikitnya lapangan kerja, melambatnya pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan pengangguran.

Terkait data terkini, berdasarkan penjelasan BPS, perbaikan rasio gini disebabkan kelompok ekonomi menengah ke bawah mengalami peningkatan pengeluaran lebih tinggi dibandingkan kelompok ekonomi teratas.

Per September 2016, pengeluaran kelompok ekonomi terbawah tumbuh 4,56 persen. Sementara kelompok ekonomi menengah bertumbuh 11,69 persen. Sedangkan kelompok ekonomi teratas hanya tumbuh 3,83 persen.

Pelemahan pertumbuhan pengeluaran kelompok ekonomi teratas tak dapat dilepaskan dari pelemahan ekonomi global yang menyeret Amerika Serikat dan Cina. Padahal, kedua negara itu adalah mitra dagang utama Indonesia. Perbaikan harga komoditas belakangan belum banyak membantu.

Sementara peningkatan pengeluaran kelompok ekonomi menengah dan terbawah disebabkan peningkatan persentase jumlah penduduk yang bekerja. Entah itu yang bekerja sendiri maupun bekerja dengan status tidak dibayar. Survei terakhir pada Agustus 2016 menunjukkan jumlah angkatan kerja yang membuka usaha sendiri meningkat 4,77 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Dukungan UMKM

Peningkatan pembukaan usaha sendiri dimotori oleh sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Mencermati data BPS ini, sudah seyogianya perbaikan ketimpangan tidak hanya dilihat dari dimensi makro ekonomi semata. Di samping mengurangi ketimpangan dengan jalan memudahkan akses kelompok ekonomi menengah dan terbawah terhadap pendidikan dan kesehatan, peningkatan dukungan konkret kepada UMKM juga harus diwujudkan.

Sebab, telah terbukti berulang kali UMKM dapat menjadi tumpuan di kala kelesuan sedang melanda ekonomi global maupun nasional. Kita semua memahami, UMKM merupakan komponen krusial dalam perekonomian Indonesia. Indikatornya begitu banyak.

Misalnya dari sisi jumlah, mengacu pada data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM), jumlah UMKM mencapai 57.895.721 unit (2013). Mayoritas dari jumlah tersebut adalah usaha mikro dengan jumlah 57.189.393 unit. Sedangkan sisanya merupakan usaha kecil 654.222 unit dan usaha menengah 52.102 unit.

Kemudian, kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia dari sisi tenaga kerja mencapai 104.624.466 tenaga kerja. Sementara dari sisi produk domestik bruto (PDB), UMKM menyumbang Rp 5.440 miliar dari total PDB pada 2013 yang tercatat sebesar Rp 9.014 miliar.

Namun demikian, bukan berarti pengembangan UMKM tanpa hambatan. Pemerintah, seperti kita ketahui, sudah berusaha untuk berupaya menaikkan kapasitas UMKM. Istilahnya agar pengusaha mikro kecil dan menengah naik kelas.

Faktor sumber daya manusia (SDM), akses pemasaran, dan yang terakhir modal usaha menjadi faktor yang membatasi. Betul bahwa pemerintah memiliki program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Nominal pembiayaan yang disalurkan melalui bank-bank juga terus mengalami peningkatan hingga melebihi Rp 100 triliun pada tahun ini.

Akan tetapi, patut dipastikan bahwa penerima KUR benar-benar menggunakan untuk meningkatan kelas UMKM yang dikelola. Sebab, berbagai temuan di daerah menunjukkan penyalahgunaan KUR. Alih-alih untuk usahanya, dana segar dari KUR malah dipakai untuk melunasi utang yang digunakan sebagai modal usaha.

Kualitas SDM

Aspek lain yang tidak kalah penting untuk menjaga momentum perbaikan ketimpangan ini adalah peningkatan kualitas SDM, khususnya di bidang kewirausahaan (entrepreneurship). Wirausaha belakangan tumbuh subur lantaran ditopang kemajuan teknologi. Dengan demikian, jamak ditemukan, lahirnya pengusaha-pengusaha baru.

Mereka memanfaatkan internet untuk mendukung produksi hingga memasarkan produk kreasi mereka. Tak ketinggalan peran penting media sosial maupun aplikasi pesan semisal WhatsApp hingga LINE. Akan tetapi, pendampingan kerap kali tak diperoleh.

Ujung-ujungnya, ketika sedang menemukan kesulitan, para pengusaha UMKM seolah menemui jalan buntu. Usahanya pun terkendala bahkan hingga gulung tikar. Berkaca dari fakta yang kerap ditemukan, peran pendamping jelas tidak dapat diremehkan.

Pemerintah memastikan bahwa kebijakan untuk meningkatkan kualitas SDM bersifat affirmative action. Artinya, kebijakan yang diambil bertujuan agar kelompok atau golongan tertentu memperoleh peluang yang setara dalam bidang yang sama. Harapannya pemodalan kelompok ekonomi terbawah pada khususnya bisa mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas serta memperbaiki kualitas hidup.

Sehingga pada akhirnya, ketimpangan antara kelompok ekonomi terbawah dan teratas bakal semakin berkurang. Sebagaimana harapan semua pihak, tak terkecuali Presiden Joko Widodo yang berulangkali menekankan permasalahan ini. Apalagi, ketimpangan menjadi permasalahan global, tidak hanya di Indonesia semata.

 

Editorial Neraca, Neraca.co.id, 28-2-2017

Kita melihat pemerintah terus mengusahakan kebijakan selain kebijakan transfer cash yang saat ini diklaim sebagai salah satu sebab perbaikan angka rasio gini, meskipun kecil. Kebijakan itu adalah kebijakan yang mampu menambah nisbah output pembangunan ekonomi (PDB) yang bisa dinikmati oleh penduduk 40% berpendapatan rendah. Barulah penambahan pendapatan bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah menjadi penurunan tingkat ketimpangan yang tidak semu.

Kebijakan tersebut adalah: industrialisasi pertanian, peningkatan akses pelayanan dasar bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah, peningkatan skill tenaga kerja, akses modal dan kesempatan yang sama.

Industrialisasi pertanian di sini maksudnya lebih kepada peningkatan value added sektor pertanian dengan mengusahakan kegiatan on farm pada skala ekonomi yang optimum.

Kebijakan berikutnya adalah peningkatan akses pelayanan dasar bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah, berupa akses terhadap pendidikan dan kesehatan gratis. Akses pelayanan dasar tersebut menjadi sebab produktifnya manusia. Bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah akan menjadikan mereka memiliki peluang untuk lebih produktif dan meningkatkan penghasilan mereka.

Akses pelayanan dasar itu harus dibarengi dengan kebijakan peningkatan skill. Bagi mereka yang mampu menyelesaikan pendidikan setingkat SMU/SMK, maka pelatihan peningkatan skill menjadi penting agar lulusan SMU/SMK menjadi lebih kompetitif dan berdaya saing dan peluang untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik terbuka lebar. Juga pemberian akses modal menjadi penting bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah. Semoga!

 

Suhariyanto, BPS, Katadata.co.id, 1-3-2017

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto tidak mempersoalkan perbedaan metodologi dan sumber data yang digunakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD) dalam laporannya. Secara garis besar laporan ini menunjukan persoalan yang sama dengan survei yang dilakukan BPS, yakni tingkat ketimpangan yang relatif tinggi di Indonesia.

“Dengan data Susenas (survei sosial ekonomi nasional), BPS setiap tahun menghitung berdasarkan gini rasio, tahun ini 0,39 pada September 2016. Yang digunakan oleh Oxfam data yang berbeda, tapi kalau dilihat fenomena yang terjadi sama. Ketimpangan masih jadi PR (pekerjaan rumah) besar,” kata Kepala BPS Suhariyanto saat konferensi pers di kantor BPS, Jakarta, Rabu (1/3).

Suhariyanto mengatakan dalam mengukur ketimpangan, banyak metodologi dan sumber data yang bisa digunakan. BPS sendiri menggunakan gini rasio. Gini rasio ini diukur dari tingkat pengeluaran suatu rumah tangga. Pengukuran ini jelas berbeda dengan yang digunakan oleh Oxfam dan INFID yang menggunakan besaran wealth (kekayaan).

Penggunaan ukuran berdasarkan pengeluaran ada kaitannya dengan budaya rumah tangga Indonesia yang sulit mengungkapkan pendapatannya. Kalaupun mau, itu hanya sebatas estimasi. Rumah tangga Indonesia lebih mudah mengungkapkan pengeluaran.

Suhariyanto mengatakan persoalan utama yang harus diselesaikan adalah bagaimana menurunkan ketimpangan. Menurutnya, beberapa cara yang telah ditempuh pemerintah antara lain, menurunkan ketimpangan kesempatan, memudahkan rakyat  memperoleh akses pendidikan, dan modal.

Pemerintah juga telah membuat berbagai strategi untuk memecahkan ketimpangan lewat redistribusi dan legalisasi lahan. “Selain itu ada, peningkatkan akses modal, penguatan kartu pintar dan sehat, pendidikan vokasi, sektor pariwisata, otomotif, dan lainnya,” katanya.

Seperti diketahui, pekan lalu Oxfam merilis laporan yang menyatakan bahwa harta empat orang terkaya di Indonesia mencapai US$ 25 miliar atau setara Rp 333,8 triliun. Sedangkan total kekayaan 100 juta penduduk miskin di Indonesia sebesar US$ 24 miliar atau sekitar Rp 320,3 triliun.

Juru Bicara Oxfam Indonesia Dini Widiastuti menjelaskan, data tersebut diperoleh dari laporan Credit Suisse. “Pada dasarnya perhitungan datanya (dari) global wealth data box yang diproduksi Credit Suisse Research Institute. Bisa kelihatan prosentase share-nya,” kata Dini kepada Katadata, Senin (27/2).

Menurut Dini, dalam laporan Credit Suisse disebutkan bahwa 40 persen atau 100 juta penduduk miskin Indonesia memiliki kekayaan 1,36 persen dari total kekayaan penduduk nasional. Dari data tersebut disimpulkan bahwa kekayaan 40 persen penduduk termiskin Indonesia sebesar US$ 24 miliar atau setara Rp 320 triliun.

Data tersebut kemudian disandingkan dengan data Forbes tentang daftar orang terkaya di Indonesia dan jumlah kekayaannya. Dari data tersebut diperoleh data bahwa total harta empat orang terkaya Indonesia mencapai US$ 25 miliar atau setara Rp 333 triliun. Ini artinya lebih besar dibanding harta 100 juta penduduk termiskin Indonesia.

 

Mardiasmo, Wamen Keu, Sindo, 21-2-2017

YOGYAKARTA – Kementerian Keuangan memperingatkan Daerah Istimewa Yogyakarta perihal semakin memburuknya angka gini ratio. Saat ini angka gini ratio di Yogyakarta terburuk dari seluruh daerah di Indonesia. Padahal tahun sebelumnya masih berada di urutan kedua terburuk di Tanah Air.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengaku sudah berbicara dengan Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X terkait angka gini ratio tersebut. Di Yogyakarta ini, kebanyakan yang terjadi adalah pengangguran kelas tinggi (high unemployment).

Hal ini terjadi akibat sistem pendidikan yang banyak dikembangkan di wilayah yang disebut Kota Pelajar ini. “Yogyakarta ini Kota Pelajar tetapi terlalu generalis,” tuturnya, Selasa (21/2/2017).

Ia memperingatkan agar ada perubahan arah pendidikan yang ada saat ini. Ia menyarankan agar pendidikan di Yogyakarta tidak terlalu generalis seperti saat ini. Karena terlalu generalis atau umum, maka orientasi pembelajaran juga bukan berdasarkan kebutuhan dunia kerja yang ada.

Ketika pendidikan yang ada masih bersifat generalis, maka tidak ada sinkronisasi dengan dunia kerja. Dimana lulusan yang dihasilkan spesifikasinya tidak sesuai dengan tenaga kerja yang dibutuhkan industri. Ketika diterima kerja pun, lulusan perguruan tinggi ini harus melalui ditraining terlebih dahulu.

Namun dengan sistem pendidikan vokasi, maka lulusannya langsung bisa diserap dunia kerja. Karena biasanya banyak perusahaan ataupun industri yang mencari tenaga kerja siap pakai.

Bahkan banyak yang menarik mahasiswa vokasi ke dunia kerja mereka meskipun belum lulus. “Jika pengangguran berkurang, saya yakin gini ratio akan membaik,” ujarnya.

 

JB Priyono, BPS DIY, Sindo, 9-2-2017

DIY memiliki gini ratio 0,425 selisih 0,031 lebih buruk dari rata-rata nasional. Sementara Bangka Belitung mencatat angkat gini ratio pada 0,288, selisih 0,106 lebih baik dari rata-rata nasional.

“DIY tercatat sebagai provinsi yang mencetak ketimpangan pengeluaran terparah karena indikasi statistik menunjukkan di perkotaan DIY, total pengeluaran penduduk 20% terbawah hanya 5,66% dari total seluruh pengeluaran penduduk,” tutur Kepala BPS DIY, JB Priyono, Kamis (9/2/2017).

Menurutnya, angka kebahagiaan di Yogyakarta cukup tinggi meskipun kesenjangan di DIY juga paling parah di Indonesia. Hal ini menunjukkan jika Yogyakarta masih dianggap sebagai tempat yang nyaman untuk tinggal. Selama ini biaya hidup di Yogyakarta masih tergolong lebih murah dibanding kota atau provinsi yang lain.

 

Tavip Agus Rayanto, Bapedda DIY, Tribun Jogja, 2-2-2017

Kasusnya, di DIY ini pertumbuhan infrastruktur itu kan cepat namun pertumbuhan infrastrukturnya yang menyerap berasal dari golongan menengah atas yang pendapatannya tinggi, sehingga yang miskin tidak mampu mengejar golongan atas,” ujar Tavip pada Kamis (2/2/2017).

Saat ini, Pemda DIY melakukan rapat pembangunan infrastruktur yang berupaya mampu menurunkan ketimpangan melalui program-program pemberdayaan masyarakat.

Tahun 2017, program pemberdayaan berfokus pada pemberdayaan pelatihan non-skill.

Dijelaskannya, ada tiga program, yakni bagi masyarakat usia senja diberikan bantuan sosial, sedang yang usia produktif diberikan program pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan skill. kedua, bagi pengusaha Mikro Kecil yang memiliki persoalan keuangan, akan dibuka jaringan perbankan.

Terakhir, Pemerintah akan membangun dengan jejaring swasta melalui program Corporate Social Responsbility (CSR)-nya.

“Yang lebih utama adalah bagaimana anggaran-anggaran swasta itu bisa digunakan untuk memberdayakan masyarakat melalui jaringan CSR mereka. Selain itu kita juga berikan keahlian karena rata-rata masyarakat miskin tidak punya keahlian sehingga tidak bisa menyerap lapangan pekerja yang ada,” ungkapnya.

 

Edy Suandi Hamid, UII, KR, 20-2-2017

YOGYA (KRjogja.com) – DIY merupakan daerah yang memiliki ‘magnit’, sehingga menarik untuk didatangi. Selain untuk berwisata, menempuh pendidikan, hingga berusaha dan berinvestasi. Para pendatang tersebut, membelanjakan dananya cukup besar, jauh dibandingkan masyarakat lokal DIY. Perbedaan belanja yang cukup besar tersebut, menyeret DIY sebagai gini ratio sebesar 0,425, yakni terburuk di Indonesia, atau daerah dengan ketimpangan tertinggi dalam belanja masyarakatnya. Selain itu, tingkat kemiskinan di DIY juga masih tinggi dari rata-rata nasional, meski angkanya mengalami penurunan.

Badan Pusat Statistik (BPS) DIY mencatat gini ratio DIY sejak 2013 hingga 2016 tidak banyak bergeser. Pada 2013 mencapai 0,44 kemudian turun menjadi 0,42 lalu pada 2015 hanya 0,42 yang tidak kunjung hingga tahun 2016 lalu. Tingkat kemiskinan DIY pada 2016, menurun menjadi 13,10 persen,  meskipun jumlah orang miskin bertambah menjadi 488.830 orang dibandingkan tahun 2015.

Ketimpangan yang tinggi tersebut, menurut pakar ekonomi dari Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc terkait dengan distribusi pendapatan yang tidak merata antara lain distribusi aset (kekayaan) masyarakat yang timpang. Hal ini harus dicermati terutama penyebab angka ketimpangan menjadi tinggi yaitu masyarakat miskin di DIY masih sangat banyak, khususnya di sektor pertanian. “Masyarakat perlu diatur supaya tidak kontraproduktif pendapatannya. Ketimpangan terjadi di DIY karena yang kaya tumbuh cepat dan yang miskin justru tumbuh lambat, hal ini perlu didorong supaya tumbuh lebih cepat,” papar Edy.

Menurut pakar ekonomi dari UPN Veteran Yogyakarta, Ardito Bhinadi, untuk mengatasi ketimpangan pengeluaran ini cukup sulit karena terkait gaya hidup dan daya beli masyarakat antara warga lokal dan pendatang. Namun demikian, bukan berarti tidak dapat diatasi. Upaya tersebut menurut Ardito, perlunya keperpihakan pemerintah, khususnya dalam mendorong daya beli masyarakat DIY. Yakni dengan memberdayakan  pelaku usaha dan pemberdayaan masyarakat lokal. Sebab usaha lokal ataupun tradisional di DIY banyak sekali yang terpinggirkan dengan adanya toko modern berjejaring, maraknya perhotelan, restoran hingga pusat perbelanjaan yang besar.

Pengeluaran terkait erat dengan gaya hidup, meskipun pendapatan naik tetapi kalau gaya hidupnya hemat dan sederhana tetap muncul kesenjangan. Kita harus melihat adanya karakter masyarakat setempat dengan lingkungan perekonomian di DIY  dan kemiskinan di DIY ini tinggi karena konsumsinya lebih kecil dibandingkan daerah lainnya,” tegas Ardito.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DIY, GKR Mangkubumi mengharapkan agar masyarakat DIY tidak menjadi penonton akibat kesenjangan pengeluaran ini. Mereka harus memanfaatkan peluang seoptimal mungkin, termasuk dengna magnit para pendatang ke DIY. (Ira)

 

J Bambang Kristianto, Ka BPS DIY, Harjo, 20-4-2016

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY J Bambang Kristianto menyebutkan rasio gini di DIY masih tinggi yakni 0,42 dan melebihi rasio gini nasional sebesar 0,40.

Distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada 2015 juga didominasi orang kaya. PDRB DIY sebesar Rp101 triliun dimana 44,09% dinikmati penduduk golongan tinggi yakni 20% dari total penduduk.

Sementara itu, 36,12% dari PDRB dinikmati masyarakat kelas menengah yang sebesar 40% dari total penduduk, dan sisanya 19,79% dari PDRB dinikmati penduduk kalangan terendah yang sebesar 40% dari total penduduk.

Ketimpangan paling tinggi terlihat di Sleman karena ada arus urbanisasi. Ada pergerakan dari penduduk desa ke kota. Namun, saat berpindah ke kota, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang pantas karena rendahnya tingkat pendidikan. Mereka hanya bisa bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang kecil.

Sebaliknya, di Sleman juga terdapat penduduk kaya yang tinggal di  kondominium. Jika dipilah secara kecamatan, ketimpangan paling besar terjadi di pusat kota misalnya di Depok, Mlati, Ngaglik.

“Untuk Jogja, ketimpangan besar pasti terjadi di setiap kecamatan. Kondisinya sama, ada masyarakat yang tinggal di rumah sangat sederhana, ada pula yang tinggal di kondominium,” ungkap dia kepada Harianjogja.com ketika ditemui di Gedung BPS DIY, Jl Lingkar Barat, Bantul, Selasa (19/4/2016).

Pemerintah harus bisa memberikan keberpihakan kepada masyarakat agar mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang pantas. Masyarakat yang masuk golongan rendah seolah terkotak karena tidak memiliki daya saing yang tinggi karena rendahnya pendidikan.

Selain itu, usaha yang dirintis sulit berkembang karena keterbatasan modal. Ketika akan mengakses pinjaman modal ke bank juga mendapatkan kesulitan karena belum ada kesadaran untuk berinovasi dan susah mendapatkan kepercayaan dari bank.

Ketimpangan terendah terjadi di Gunungkidul namun cenderung ke arah homogen miskin. Hal itu menandakan, perkembangan wisata yang pesat belum menyentuh masyarakat di sekitar objek wisata. Ekonomi pariwisata lebih berdampak pada bidang perhotelan, perdagangan, dan industri olahan.

Keberagaman objek wisata yang menarik belum diimbangi dengan fasilitas pendukung yang mendukung dan bersih. Hal itu menyebabkan, wisatawan khususnya dari kelas atas memilih untuk kembali ke Wonosari atau Jogja untuk makan dan tinggal.