Sri Mulyani, Kompas, 2-3-2017
“Kalau saya sebut rasio gini (melebar), bukan berarti yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin,” ujar Ani saat membuka sosialisasi Transfer Daerah dan Dana Desa di Jakarta, Kamis (2/3/2017).
Menurutnya, semua masyarakat Indonesia semakin kaya. Hanya saja kecepatan dari akumulasi kekayaan kelompok masyakat kaya dan miskin memiliki perbedaan.
Kelompok miskin, tutur dia, lebih lambat untuk menjadi kaya. Sementara bagi kelompok yang sudah kaya, justru lebih cepat untuk bertambah kaya.
Pemerintah, kata Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, harus bekerja keras mempersempit tingkat ketimpangan. Caranya yakni mengoptimalkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) oleh pemerintah pusat maupun daerah.
“Pesan dari sini, kita perlu gunakan instrumen dan desain pembangunan agar kesenjangan ini tidak semakin lebar,” kata Ani.
Sri Mulyani, Merdeka, 23-2-2017
Merdeka.com – Menteri Keuangan, Sri Mulyani membongkar penyebab masih tingginya ketimpangan antara si-kaya dan miskin atau gini ratio di Indonesia. Salah satunya adalah garis kemiskinan yang terus diwariskan dan tidak putus.
Ani, sapaan akrab Sri Mulyani menjelaskan, kemiskinan terus diwariskan karena seorang anak masih di janin ibu miskin saja sudah tidak punya peluang untuk menjadi sejahtera. Penyebabnya, anak tersebut sudah tidak tercukupi gizinya.
“Masyarakat miskin bisa diwariskan. Mereka miskin akhirnya anak tidak bisa sekolah. Di janin saja tidak dapat gizi cukup. Walaupun dia sekolah ada subsidi dari pemerintah, tapi anak itu tidak bisa berpartisipasi karena sudah tidak berkembang sejak di janin,” kata Ani di Hotel Aryaduta, Tugu Tani, Jakarta, Kamis (23/2).
Ani mengatakan, investasi pada janin menjadi salah satu penentu masa depan. Dia mencontohkan, seorang janin dalam perut ibu yang berstatus sarjana di Jakarta akan berbeda kualitasnya dengan janin yang berada di perut seorang ibu di NTT yang hanya lulusan SD.
“Sewaktu di perut mereka tidak punya peluang jadi orang sejahtera,” tegas Ani.
Melihat kondisi ini, Ani tidak hanya berdiam diri. Kebijakan fiskal terus diarahkan agar garis kemiskinan itu tidak terus diwariskan. Dana untuk daerah terus ditambah agar Pemda memperhatikan masyarakatnya.
“Kebijakan fiskal kita arahkan melalui porsi belanja Pemerintah RI. Sekarang anggaran kementerian di pusat sudah sama dengan dana untuk daerah. Bahkan daerah lebih banyak Rp 1 triliun,” katanya.
Banyaknya dana ini, Ani meminta Pemda untuk mengurangi atau menghilangkan warisan kemiskinan. “Ini salah satu kunci mengurangi kesenjangan atau gini ratio kita,” tutupnya.
Eni, BI, Republika, 28-2-2017
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Eni Panggabean mengatakan, tingkat ketimpangan masih cukup tinggi di Indonesia. Rasio gini mengalami stagnasi sejak 2011 di angka 0,4, dan sedikit membaik pada September 2016 di angka 0,39.
Penyebab dari masih tingginya rasio gini tersebut adalah karena akses masyarakat terhadap fasilitas keuangan masih rendah, atau masih tingginya unbank people. Saat ini, fasilitas keuangan hanya 16 kantor per 100 ribu penduduk. Rasio kredit terhadap PDB pun masih 33,6 persen.
“Akibatnya, masyarakat kesulitan menampung aset, habis untuk keperluan sehari-hari,” kata Eni, dalam Rembuk Republik yang digelar Republika di Museum BI, Jakarta Selasa (28/2).
Sri Mulyani, Kumparan.com, 17-2-2017
Pemerintah terus berusaha keras menurunkan angka ketimpangan pengeluaran atau gini ratio. Sebab, meskipun indeks gini ratio pada September 2016 menurun tipis menjadi 0,394 dibanding Maret 2016 sebesar 0,397, ketimpangan tetap dinilai masih tinggi.
Hal ini diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat mengisi kuliah umum dengan tema “APBN yang Efektif dan Kredibel untuk Membangun Negeri” yang digelar di Gedung Prof Soedarto Kampus Universitas Diponegoro, Tembalang, Kamis (16/2).
Acara ini juga dihadiri Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Civitas Akademika, dan ratusan mahasiswa Undip.
Oleh karena itu, untuk menurunkan angka ketimpangan, diperlukan kebijakan yang tepat seperti penyusunan instrumen fiskal yaitu APBN, kebijakan moneter bank sentral serta kebijakan ekonomi struktural berupa paket ekonomi yang kompetitif.
“Tujuan pembangunan ekonomi Indonesia sudah jelas yaitu menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tujuan tersebut merupakan dua hal yang harus dicapai bersamaan,” jelasnya.
William Henley, Republika, 20-2-2017
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley *)
Awal Februari silam, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir sebuah temuan penting. BPS mencatat angka ketimpangan pengeluaran penduduk (gini ratio/rasio gini) per September 2016 sebesar 0,394. Angka tersebut menurun tipis dibandingkan Maret 2016 yang tercatat 0,397.
Rasio gini September 2016 juga lebih baik dibandingkan posisi September 2015 sebesar 0,402. Perbaikan rasio ini jelas menjadi kabar menggembirakan pada tahun Ayam Api ini. Sebelumnya pada2008, rasio gini hanya 0,35.
Namun dari tahun ke tahun nilainya meningkat menjadi 0,41. Perwakilan Bank Dunia di Indonesia mengemukakan, rasio gini Indonesia tinggi lantaran sejumlah faktor, antara lain sedikitnya lapangan kerja, melambatnya pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan pengangguran.
Terkait data terkini, berdasarkan penjelasan BPS, perbaikan rasio gini disebabkan kelompok ekonomi menengah ke bawah mengalami peningkatan pengeluaran lebih tinggi dibandingkan kelompok ekonomi teratas.
Per September 2016, pengeluaran kelompok ekonomi terbawah tumbuh 4,56 persen. Sementara kelompok ekonomi menengah bertumbuh 11,69 persen. Sedangkan kelompok ekonomi teratas hanya tumbuh 3,83 persen.
Pelemahan pertumbuhan pengeluaran kelompok ekonomi teratas tak dapat dilepaskan dari pelemahan ekonomi global yang menyeret Amerika Serikat dan Cina. Padahal, kedua negara itu adalah mitra dagang utama Indonesia. Perbaikan harga komoditas belakangan belum banyak membantu.
Sementara peningkatan pengeluaran kelompok ekonomi menengah dan terbawah disebabkan peningkatan persentase jumlah penduduk yang bekerja. Entah itu yang bekerja sendiri maupun bekerja dengan status tidak dibayar. Survei terakhir pada Agustus 2016 menunjukkan jumlah angkatan kerja yang membuka usaha sendiri meningkat 4,77 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dukungan UMKM
Peningkatan pembukaan usaha sendiri dimotori oleh sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Mencermati data BPS ini, sudah seyogianya perbaikan ketimpangan tidak hanya dilihat dari dimensi makro ekonomi semata. Di samping mengurangi ketimpangan dengan jalan memudahkan akses kelompok ekonomi menengah dan terbawah terhadap pendidikan dan kesehatan, peningkatan dukungan konkret kepada UMKM juga harus diwujudkan.
Sebab, telah terbukti berulang kali UMKM dapat menjadi tumpuan di kala kelesuan sedang melanda ekonomi global maupun nasional. Kita semua memahami, UMKM merupakan komponen krusial dalam perekonomian Indonesia. Indikatornya begitu banyak.
Misalnya dari sisi jumlah, mengacu pada data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM), jumlah UMKM mencapai 57.895.721 unit (2013). Mayoritas dari jumlah tersebut adalah usaha mikro dengan jumlah 57.189.393 unit. Sedangkan sisanya merupakan usaha kecil 654.222 unit dan usaha menengah 52.102 unit.
Kemudian, kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia dari sisi tenaga kerja mencapai 104.624.466 tenaga kerja. Sementara dari sisi produk domestik bruto (PDB), UMKM menyumbang Rp 5.440 miliar dari total PDB pada 2013 yang tercatat sebesar Rp 9.014 miliar.
Namun demikian, bukan berarti pengembangan UMKM tanpa hambatan. Pemerintah, seperti kita ketahui, sudah berusaha untuk berupaya menaikkan kapasitas UMKM. Istilahnya agar pengusaha mikro kecil dan menengah naik kelas.
Faktor sumber daya manusia (SDM), akses pemasaran, dan yang terakhir modal usaha menjadi faktor yang membatasi. Betul bahwa pemerintah memiliki program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Nominal pembiayaan yang disalurkan melalui bank-bank juga terus mengalami peningkatan hingga melebihi Rp 100 triliun pada tahun ini.
Akan tetapi, patut dipastikan bahwa penerima KUR benar-benar menggunakan untuk meningkatan kelas UMKM yang dikelola. Sebab, berbagai temuan di daerah menunjukkan penyalahgunaan KUR. Alih-alih untuk usahanya, dana segar dari KUR malah dipakai untuk melunasi utang yang digunakan sebagai modal usaha.
Kualitas SDM
Aspek lain yang tidak kalah penting untuk menjaga momentum perbaikan ketimpangan ini adalah peningkatan kualitas SDM, khususnya di bidang kewirausahaan (entrepreneurship). Wirausaha belakangan tumbuh subur lantaran ditopang kemajuan teknologi. Dengan demikian, jamak ditemukan, lahirnya pengusaha-pengusaha baru.
Mereka memanfaatkan internet untuk mendukung produksi hingga memasarkan produk kreasi mereka. Tak ketinggalan peran penting media sosial maupun aplikasi pesan semisal WhatsApp hingga LINE. Akan tetapi, pendampingan kerap kali tak diperoleh.
Ujung-ujungnya, ketika sedang menemukan kesulitan, para pengusaha UMKM seolah menemui jalan buntu. Usahanya pun terkendala bahkan hingga gulung tikar. Berkaca dari fakta yang kerap ditemukan, peran pendamping jelas tidak dapat diremehkan.
Pemerintah memastikan bahwa kebijakan untuk meningkatkan kualitas SDM bersifat affirmative action. Artinya, kebijakan yang diambil bertujuan agar kelompok atau golongan tertentu memperoleh peluang yang setara dalam bidang yang sama. Harapannya pemodalan kelompok ekonomi terbawah pada khususnya bisa mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas serta memperbaiki kualitas hidup.
Sehingga pada akhirnya, ketimpangan antara kelompok ekonomi terbawah dan teratas bakal semakin berkurang. Sebagaimana harapan semua pihak, tak terkecuali Presiden Joko Widodo yang berulangkali menekankan permasalahan ini. Apalagi, ketimpangan menjadi permasalahan global, tidak hanya di Indonesia semata.
Editorial Neraca, Neraca.co.id, 28-2-2017
Kita melihat pemerintah terus mengusahakan kebijakan selain kebijakan transfer cash yang saat ini diklaim sebagai salah satu sebab perbaikan angka rasio gini, meskipun kecil. Kebijakan itu adalah kebijakan yang mampu menambah nisbah output pembangunan ekonomi (PDB) yang bisa dinikmati oleh penduduk 40% berpendapatan rendah. Barulah penambahan pendapatan bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah menjadi penurunan tingkat ketimpangan yang tidak semu.
Kebijakan tersebut adalah: industrialisasi pertanian, peningkatan akses pelayanan dasar bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah, peningkatan skill tenaga kerja, akses modal dan kesempatan yang sama.
Industrialisasi pertanian di sini maksudnya lebih kepada peningkatan value added sektor pertanian dengan mengusahakan kegiatan on farm pada skala ekonomi yang optimum.
Kebijakan berikutnya adalah peningkatan akses pelayanan dasar bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah, berupa akses terhadap pendidikan dan kesehatan gratis. Akses pelayanan dasar tersebut menjadi sebab produktifnya manusia. Bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah akan menjadikan mereka memiliki peluang untuk lebih produktif dan meningkatkan penghasilan mereka.
Akses pelayanan dasar itu harus dibarengi dengan kebijakan peningkatan skill. Bagi mereka yang mampu menyelesaikan pendidikan setingkat SMU/SMK, maka pelatihan peningkatan skill menjadi penting agar lulusan SMU/SMK menjadi lebih kompetitif dan berdaya saing dan peluang untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik terbuka lebar. Juga pemberian akses modal menjadi penting bagi 40% penduduk berpengeluaran rendah. Semoga!
Suhariyanto, BPS, Katadata.co.id, 1-3-2017
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto tidak mempersoalkan perbedaan metodologi dan sumber data yang digunakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD) dalam laporannya. Secara garis besar laporan ini menunjukan persoalan yang sama dengan survei yang dilakukan BPS, yakni tingkat ketimpangan yang relatif tinggi di Indonesia.
“Dengan data Susenas (survei sosial ekonomi nasional), BPS setiap tahun menghitung berdasarkan gini rasio, tahun ini 0,39 pada September 2016. Yang digunakan oleh Oxfam data yang berbeda, tapi kalau dilihat fenomena yang terjadi sama. Ketimpangan masih jadi PR (pekerjaan rumah) besar,” kata Kepala BPS Suhariyanto saat konferensi pers di kantor BPS, Jakarta, Rabu (1/3).
Suhariyanto mengatakan dalam mengukur ketimpangan, banyak metodologi dan sumber data yang bisa digunakan. BPS sendiri menggunakan gini rasio. Gini rasio ini diukur dari tingkat pengeluaran suatu rumah tangga. Pengukuran ini jelas berbeda dengan yang digunakan oleh Oxfam dan INFID yang menggunakan besaran wealth (kekayaan).
Penggunaan ukuran berdasarkan pengeluaran ada kaitannya dengan budaya rumah tangga Indonesia yang sulit mengungkapkan pendapatannya. Kalaupun mau, itu hanya sebatas estimasi. Rumah tangga Indonesia lebih mudah mengungkapkan pengeluaran.
Suhariyanto mengatakan persoalan utama yang harus diselesaikan adalah bagaimana menurunkan ketimpangan. Menurutnya, beberapa cara yang telah ditempuh pemerintah antara lain, menurunkan ketimpangan kesempatan, memudahkan rakyat memperoleh akses pendidikan, dan modal.
Pemerintah juga telah membuat berbagai strategi untuk memecahkan ketimpangan lewat redistribusi dan legalisasi lahan. “Selain itu ada, peningkatkan akses modal, penguatan kartu pintar dan sehat, pendidikan vokasi, sektor pariwisata, otomotif, dan lainnya,” katanya.
Seperti diketahui, pekan lalu Oxfam merilis laporan yang menyatakan bahwa harta empat orang terkaya di Indonesia mencapai US$ 25 miliar atau setara Rp 333,8 triliun. Sedangkan total kekayaan 100 juta penduduk miskin di Indonesia sebesar US$ 24 miliar atau sekitar Rp 320,3 triliun.
Juru Bicara Oxfam Indonesia Dini Widiastuti menjelaskan, data tersebut diperoleh dari laporan Credit Suisse. “Pada dasarnya perhitungan datanya (dari) global wealth data box yang diproduksi Credit Suisse Research Institute. Bisa kelihatan prosentase share-nya,” kata Dini kepada Katadata, Senin (27/2).
Menurut Dini, dalam laporan Credit Suisse disebutkan bahwa 40 persen atau 100 juta penduduk miskin Indonesia memiliki kekayaan 1,36 persen dari total kekayaan penduduk nasional. Dari data tersebut disimpulkan bahwa kekayaan 40 persen penduduk termiskin Indonesia sebesar US$ 24 miliar atau setara Rp 320 triliun.
Data tersebut kemudian disandingkan dengan data Forbes tentang daftar orang terkaya di Indonesia dan jumlah kekayaannya. Dari data tersebut diperoleh data bahwa total harta empat orang terkaya Indonesia mencapai US$ 25 miliar atau setara Rp 333 triliun. Ini artinya lebih besar dibanding harta 100 juta penduduk termiskin Indonesia.
Mardiasmo, Wamen Keu, Sindo, 21-2-2017
YOGYAKARTA – Kementerian Keuangan memperingatkan Daerah Istimewa Yogyakarta perihal semakin memburuknya angka gini ratio. Saat ini angka gini ratio di Yogyakarta terburuk dari seluruh daerah di Indonesia. Padahal tahun sebelumnya masih berada di urutan kedua terburuk di Tanah Air.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengaku sudah berbicara dengan Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X terkait angka gini ratio tersebut. Di Yogyakarta ini, kebanyakan yang terjadi adalah pengangguran kelas tinggi (high unemployment).
Hal ini terjadi akibat sistem pendidikan yang banyak dikembangkan di wilayah yang disebut Kota Pelajar ini. “Yogyakarta ini Kota Pelajar tetapi terlalu generalis,” tuturnya, Selasa (21/2/2017).
Ia memperingatkan agar ada perubahan arah pendidikan yang ada saat ini. Ia menyarankan agar pendidikan di Yogyakarta tidak terlalu generalis seperti saat ini. Karena terlalu generalis atau umum, maka orientasi pembelajaran juga bukan berdasarkan kebutuhan dunia kerja yang ada.
Ketika pendidikan yang ada masih bersifat generalis, maka tidak ada sinkronisasi dengan dunia kerja. Dimana lulusan yang dihasilkan spesifikasinya tidak sesuai dengan tenaga kerja yang dibutuhkan industri. Ketika diterima kerja pun, lulusan perguruan tinggi ini harus melalui ditraining terlebih dahulu.
Namun dengan sistem pendidikan vokasi, maka lulusannya langsung bisa diserap dunia kerja. Karena biasanya banyak perusahaan ataupun industri yang mencari tenaga kerja siap pakai.
Bahkan banyak yang menarik mahasiswa vokasi ke dunia kerja mereka meskipun belum lulus. “Jika pengangguran berkurang, saya yakin gini ratio akan membaik,” ujarnya.
JB Priyono, BPS DIY, Sindo, 9-2-2017
DIY memiliki gini ratio 0,425 selisih 0,031 lebih buruk dari rata-rata nasional. Sementara Bangka Belitung mencatat angkat gini ratio pada 0,288, selisih 0,106 lebih baik dari rata-rata nasional.
“DIY tercatat sebagai provinsi yang mencetak ketimpangan pengeluaran terparah karena indikasi statistik menunjukkan di perkotaan DIY, total pengeluaran penduduk 20% terbawah hanya 5,66% dari total seluruh pengeluaran penduduk,” tutur Kepala BPS DIY, JB Priyono, Kamis (9/2/2017).
Menurutnya, angka kebahagiaan di Yogyakarta cukup tinggi meskipun kesenjangan di DIY juga paling parah di Indonesia. Hal ini menunjukkan jika Yogyakarta masih dianggap sebagai tempat yang nyaman untuk tinggal. Selama ini biaya hidup di Yogyakarta masih tergolong lebih murah dibanding kota atau provinsi yang lain.
Tavip Agus Rayanto, Bapedda DIY, Tribun Jogja, 2-2-2017
“Kasusnya, di DIY ini pertumbuhan infrastruktur itu kan cepat namun pertumbuhan infrastrukturnya yang menyerap berasal dari golongan menengah atas yang pendapatannya tinggi, sehingga yang miskin tidak mampu mengejar golongan atas,” ujar Tavip pada Kamis (2/2/2017).
Saat ini, Pemda DIY melakukan rapat pembangunan infrastruktur yang berupaya mampu menurunkan ketimpangan melalui program-program pemberdayaan masyarakat.
Tahun 2017, program pemberdayaan berfokus pada pemberdayaan pelatihan non-skill.
Dijelaskannya, ada tiga program, yakni bagi masyarakat usia senja diberikan bantuan sosial, sedang yang usia produktif diberikan program pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan skill. kedua, bagi pengusaha Mikro Kecil yang memiliki persoalan keuangan, akan dibuka jaringan perbankan.
Terakhir, Pemerintah akan membangun dengan jejaring swasta melalui program Corporate Social Responsbility (CSR)-nya.
“Yang lebih utama adalah bagaimana anggaran-anggaran swasta itu bisa digunakan untuk memberdayakan masyarakat melalui jaringan CSR mereka. Selain itu kita juga berikan keahlian karena rata-rata masyarakat miskin tidak punya keahlian sehingga tidak bisa menyerap lapangan pekerja yang ada,” ungkapnya.
Edy Suandi Hamid, UII, KR, 20-2-2017
YOGYA (KRjogja.com) – DIY merupakan daerah yang memiliki ‘magnit’, sehingga menarik untuk didatangi. Selain untuk berwisata, menempuh pendidikan, hingga berusaha dan berinvestasi. Para pendatang tersebut, membelanjakan dananya cukup besar, jauh dibandingkan masyarakat lokal DIY. Perbedaan belanja yang cukup besar tersebut, menyeret DIY sebagai gini ratio sebesar 0,425, yakni terburuk di Indonesia, atau daerah dengan ketimpangan tertinggi dalam belanja masyarakatnya. Selain itu, tingkat kemiskinan di DIY juga masih tinggi dari rata-rata nasional, meski angkanya mengalami penurunan.
Badan Pusat Statistik (BPS) DIY mencatat gini ratio DIY sejak 2013 hingga 2016 tidak banyak bergeser. Pada 2013 mencapai 0,44 kemudian turun menjadi 0,42 lalu pada 2015 hanya 0,42 yang tidak kunjung hingga tahun 2016 lalu. Tingkat kemiskinan DIY pada 2016, menurun menjadi 13,10 persen, meskipun jumlah orang miskin bertambah menjadi 488.830 orang dibandingkan tahun 2015.
Ketimpangan yang tinggi tersebut, menurut pakar ekonomi dari Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc terkait dengan distribusi pendapatan yang tidak merata antara lain distribusi aset (kekayaan) masyarakat yang timpang. Hal ini harus dicermati terutama penyebab angka ketimpangan menjadi tinggi yaitu masyarakat miskin di DIY masih sangat banyak, khususnya di sektor pertanian. “Masyarakat perlu diatur supaya tidak kontraproduktif pendapatannya. Ketimpangan terjadi di DIY karena yang kaya tumbuh cepat dan yang miskin justru tumbuh lambat, hal ini perlu didorong supaya tumbuh lebih cepat,” papar Edy.
Menurut pakar ekonomi dari UPN Veteran Yogyakarta, Ardito Bhinadi, untuk mengatasi ketimpangan pengeluaran ini cukup sulit karena terkait gaya hidup dan daya beli masyarakat antara warga lokal dan pendatang. Namun demikian, bukan berarti tidak dapat diatasi. Upaya tersebut menurut Ardito, perlunya keperpihakan pemerintah, khususnya dalam mendorong daya beli masyarakat DIY. Yakni dengan memberdayakan pelaku usaha dan pemberdayaan masyarakat lokal. Sebab usaha lokal ataupun tradisional di DIY banyak sekali yang terpinggirkan dengan adanya toko modern berjejaring, maraknya perhotelan, restoran hingga pusat perbelanjaan yang besar.
“Pengeluaran terkait erat dengan gaya hidup, meskipun pendapatan naik tetapi kalau gaya hidupnya hemat dan sederhana tetap muncul kesenjangan. Kita harus melihat adanya karakter masyarakat setempat dengan lingkungan perekonomian di DIY dan kemiskinan di DIY ini tinggi karena konsumsinya lebih kecil dibandingkan daerah lainnya,” tegas Ardito.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DIY, GKR Mangkubumi mengharapkan agar masyarakat DIY tidak menjadi penonton akibat kesenjangan pengeluaran ini. Mereka harus memanfaatkan peluang seoptimal mungkin, termasuk dengna magnit para pendatang ke DIY. (Ira)
J Bambang Kristianto, Ka BPS DIY, Harjo, 20-4-2016
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY J Bambang Kristianto menyebutkan rasio gini di DIY masih tinggi yakni 0,42 dan melebihi rasio gini nasional sebesar 0,40.
Distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada 2015 juga didominasi orang kaya. PDRB DIY sebesar Rp101 triliun dimana 44,09% dinikmati penduduk golongan tinggi yakni 20% dari total penduduk.
Sementara itu, 36,12% dari PDRB dinikmati masyarakat kelas menengah yang sebesar 40% dari total penduduk, dan sisanya 19,79% dari PDRB dinikmati penduduk kalangan terendah yang sebesar 40% dari total penduduk.
Ketimpangan paling tinggi terlihat di Sleman karena ada arus urbanisasi. Ada pergerakan dari penduduk desa ke kota. Namun, saat berpindah ke kota, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang pantas karena rendahnya tingkat pendidikan. Mereka hanya bisa bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang kecil.
Sebaliknya, di Sleman juga terdapat penduduk kaya yang tinggal di kondominium. Jika dipilah secara kecamatan, ketimpangan paling besar terjadi di pusat kota misalnya di Depok, Mlati, Ngaglik.
“Untuk Jogja, ketimpangan besar pasti terjadi di setiap kecamatan. Kondisinya sama, ada masyarakat yang tinggal di rumah sangat sederhana, ada pula yang tinggal di kondominium,” ungkap dia kepada Harianjogja.com ketika ditemui di Gedung BPS DIY, Jl Lingkar Barat, Bantul, Selasa (19/4/2016).
Pemerintah harus bisa memberikan keberpihakan kepada masyarakat agar mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang pantas. Masyarakat yang masuk golongan rendah seolah terkotak karena tidak memiliki daya saing yang tinggi karena rendahnya pendidikan.
Selain itu, usaha yang dirintis sulit berkembang karena keterbatasan modal. Ketika akan mengakses pinjaman modal ke bank juga mendapatkan kesulitan karena belum ada kesadaran untuk berinovasi dan susah mendapatkan kepercayaan dari bank.
Ketimpangan terendah terjadi di Gunungkidul namun cenderung ke arah homogen miskin. Hal itu menandakan, perkembangan wisata yang pesat belum menyentuh masyarakat di sekitar objek wisata. Ekonomi pariwisata lebih berdampak pada bidang perhotelan, perdagangan, dan industri olahan.
Keberagaman objek wisata yang menarik belum diimbangi dengan fasilitas pendukung yang mendukung dan bersih. Hal itu menyebabkan, wisatawan khususnya dari kelas atas memilih untuk kembali ke Wonosari atau Jogja untuk makan dan tinggal.