Pancasila

Lima
(Lima)
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
(Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia)

Itu dulu, sewaktu pak Kepala Sekolah esempeku memimpin pembacaan pancasila hari senin, pas upacara bendera. Waktu itu, tahun 99. Berarti sembilan tahun yang lalu. Hampir satu dasawarsa. Wow, lama amir.

Pancasila, lambang negara indonesiaPagi ini aku iseng-iseng mampir ke blognya INDOBIKERS, yang sengaja membuat satu halaman khusus untuk pancasila. Jadilah teringat masa-masa kejayaan sriwijaya, eh pancasila. nice.

Boleh jadi masa-masa esempe itulah aku mengenal pancasila terakhir. Di esem-a sudah ngga ada acara rutinan upacara hari senin yang bikin mules perut. Berdiri satu jam. Kalo nggak ngumpet di toilet, ya mendingan dateng telat. Kalo nggak bener-bener persiapan makan pagi, ya siap-siap aja mata berkunang-kunang, dan pingsan di tengah perjalanan. Huhhh…, balada upacara yang menyakitkan.
Pelajaran PPKN, atau dulu yang lebih dikenal dengan PMP menjadi pelajaran paling menyebalkan. Karena isinya hafalan mulu. Nilai tujuh merupakan nikmat tiada tara saat itu. Selebihnya kalau ngga empat ya lima. Dapet enam sujud syukur lah.

Di kuliahan mata kuliah pancasila harus aku ambil tiga kali. Pertama dapet E. Kedua C. Ketiga penginnya sih biar bagus, tapi hasilnya mentok di C. Ngga jauh beda dengan pancasila, kewiraan –anggap aja pancasila II– dapet C juga, itupun sudah aku anggap medali emas.

Sekarang, wow. pancasila. ‘Dah lupa-lupa ingat. Nyebutin dari sila satu sampai lima harus mikir beberapa saat. Ngga benar-benar lupa sih.
Tapi teksnya aja ngga apal. Pengamalannya gimana ?
(ini pertanyaan buat saya sendiri, nggak untuk yang lain)
Salut buat INDOBIKERS.

Sabtu Kemarin, Aku ke Solo (lanjutan)

“Pak DJASMIN mas…,” jawabku di bagian komputerisasi registrasi data pasien.
“Kapan masuknya?” tanyanya lagi.
“Mmm… ya mungkin semingguan ini lah.” jawabku asal.
“Alamat rumahnya?” sambung dia lagi sambil ngutik-ngutik komputernya.
“Serengan coba…, ” nggak yakin juga sih pake alamat ini.

Mmm… pasti kode SQLnya sedang jalan ya… dan jreng gonjreng 1 result show. Kuintip sedikit sistemnya. Visual Basic kali.

“Pak DJASMIN SHOLEH, Anggrek III mas ya. dari sini ke utara terus. Habis tu, naik pol. Pojokan.”
Nggih mas, matur nuwun…,”

Sampai di depan kamar beliau, aku disambut hangat oleh salah satu putra beliau. Masuk ruangan, cuma ada istrinya dan seorang family. Tenang. Ngga ada gurat sedih, cemas, dan gundah di wajah mereka.
Setelah berbasa basi sejenak, sang ibu memberi tau, bahwa bapak sudah di putuskan dokter, tidak ada harapan. Sambil kulihat beliau, posisi tidur dengan selang oksigen di hidungnya.

Sementara ibu solat, aku duduk disamping beliau. Aku do’a sebisanya. Nggak pernah do’a untuk orang sakit. Taunya do’a mau makan dan mau tidur. Pokoknya alfatihah aja sebanyak-banyaknya. Dan berucap semoga Allah memberikan keputusan terbaiknya. Segera dipanggil atau dikasih kesempatan lagi untuk lebih mendekatkan diri kepadanya.

“Yah, begini nak. Bapak mpun ngaten. Dalem nggih mpun ikhlas, kersanipun Gusti Allah pripun. Menawi sampun wayahe dipendet nggih enggal dipendet. Menawi taksih dipun paringi gesang, mugi-mugi nggeh saget ngibadah ingkah langkung sae...,” ucapnya lirih sambil sesekali mengusap wajah bapak. Sesosok jiwa yang tegar, sabar, dan ikhlas.
Njih bu’,” kataku secukupnya. Entah pikiran ini melayang sampai mana. Manusia hanyalah makhluknya. Tidak ada kata “kecuali” untuk menghadapnya kembali. Tinggal waktunya kapan. Waktuku kapan ya??? Ummm. Semoga aku masih bisa melakukan kebaikan yang lain. Dan berharap aku nggak menambah akumulasi dosaku.

Sabtu Kemarin, Aku ke Solo

Kucari-cari koran bekas di tumpukan rak kamarku. Berharap masih ada koran yang memasang jadwal kereta prambanan ekspress Jogja-Solo. Sebentar kucari, beruntung, masih ada satu koran ibukota disana. Di halaman dua, di koran edisi lokalnya, sebelah kiri. Info kereta prameks dari Jogja ke Solo, untuk siang hari, berangkat dari stasiun Tugu tujuan Solo Balapan pukul 13.15.

Whazzup!!! Ini padahal sudah jam 12.55. Semburat, kuraih tasku. Entah apa isinya. Yang kuyakin ada STNK, SIM, kunci kendaraan, dan beberapa buku bacaan untuk waktu senggang. No parfum, no dandan, no prepare at all. Masalahnya? “kata mama aku, perfume itu wanginya gak longlasting…jadi mendingan bla bla bla.”

Cukup lima menit dari tempatku sampai stasiun Tugu. Stasiun terromantis dambaan umat manusia. Okey, masih lima menit sebelum jam keberangkatan. Aku masih bisa tenang untuk membeli tiket. Dan duduk melihat-lihat suasana di kursi penantian. Keretanya belum nampak. Beberapa menit kemudian ada pengumuman kereta masih mogok di lempuyangan. Umm.. Maklum. “Kalo nggak begini bukan indonesia namanya,” celoteh spontan teman duduk samping kiriku.

Siang ini aku mau ke Solo. Rencananya jam tiga sore sampai di rumah sakit muwardi. Ketemuan sama temen-temen sma solo. Dan bareng-bareng bezuk guru smaku dulu yang sedang sakit disana. Kabarnya sih kritis. Tapi orang yang sakit dengan status kritis itu aku ngga tau kayak apa. Dan sakitnya juga sakit apa.

Meski aku menyebutnya guru, sebenarnya aku belum pernah diajar sendiri sama beliau. Tetapi aku diajar oleh dua putra beliau. Tidak jarang aku melihatnya berangkat ke sekolahan dengan jalan kaki. Nggak tau dulu itu beliau sudah usia berapa. Yang jelas sudah sepuh, tapi masih semangat dan “rosa”. Entah siang kali ini aku ringan tergerak menjenguk orang sakit. I don’t know. Mungkin karena kemarin, aku sudah mengatakan ya sama temen-temen, jadinya tetep berusaha untuk tepat janji dan tepat waktu. Nggak yakin.

Sepuluh menit berlalu, kereta belum juga datang. Kusempatkan untuk berhubungan dengan beberapa teman lewat sms. 13.24. Kereta baru tiba. Dua ratusan calon penumpang semburat bangkit dari penantiannya. Berebut masuk, berebut tempat duduk. Indonesia banget. Aku dapet di kanan pintu.

Sebentar kereta berjalan, ada ibu sama anak perempuannya berdiri di depanku. Kok yo pas di depanku, ngono lo. Yah akhirnya kulepaskan kekuasaan atas kursi ini. Sementara aku beralih status menjadi berdiri, kulihat masih ada beberapa ibu dan anaknya yang dibiarkan berdiri.

(Segini dulu, laper.. mau makan), lanjutannya : Sabtu Kemarin, Aku ke Solo

Merokok di bis ekonomi

Baru tadi pagi saya mendengar jawaban orang merokok di bis yang dilorohi tetangga duduknya.

Lah ini kan bis ekonomi, ya nggak papa merokok. Kecuali kalo bis ase. La kalo ga boleh merokok, bubarne wae pabrik rokok.

Ooo… saya baru tau kalo di bis ekonomi boleh merokok to. Kebetulan sekali dia duduk disamping saya. Laki-laki diamput itu. Yang ditangannya terpasang sebilah rokok kretek. Mungkin kretek paling murah. Sesekali dijejalkan di mulutnya. Tepatnya dua bibir hitamnya. Segera saya pasang mata sinis dan siap menerkam. Tidak lama kemudian dia pindah kursi.

Saya bukan anti orang yang merokok. Karena merokok itu adalah hak asasi manusia. Yang saya permasalahkan ketika orang merokok di bis. Dimana asapnya nggak kunjung hilang dan cenderung mulek disitu-situ aja. Memangnya masih menikmati merokok apa, ketika tetangga duduknya memandangnya dengan penuh sorot kebencian.

menunggu kereta di stasiun jatinegara

entah genre perasaan apa yang menghinggapi pikiranku. aku merasa aneh duduk disitu. di lantai stasiun, tepat didekatku ada freezer salah satu minuman kaleng terkenal. aku melihat sekeliling. di samping kiriku duduk seorang mas berumur 25an taun. di kursi panjang agak jauh tempat aku duduk, ada beberapa laki sedang ngobrol ala kadarnya untuk membiarkan waktu lewat. namun kita bertujuan sama. menunggu kereta menuju jogja.

sementara di kejauhan ada seorang laki-laki menuju ke arahku. meminta belas kasihan. dia melangkah dengan dua tangannya. dua tangannya bersandal. kakinya hanya sampai dengkul. dia nggak bisa jalan pakai kaki.  kurogoh saku jaketku. aku kasih limaratus rupiah. disakuku sebenarnya ada lebih dari itu. ada limaratusan dua untuk jaga-jaga. aku malas membuka saku sisi dalam jaketku yang berisi beberapa lembar ribuan. sedangkan laki-laki yang disampingku ngasih seribu. yang lain pun tak ketinggalan. seribu rupiah untuk laki laki itu.

sekali lagi. aku merasa aneh. sangat aneh. baru tadi malam. tepatnya kemarin malam. aku nggak membayangkan hari itu aku bisa disana. di stasiun jatinegara. melihat riuh rendah manusia jakarta. ada yang menunggu kereta ke bekasi. ka er el terakhir. ada yang ingin pulang ke cirebon. dan banyak yang lain menuju jogja. jogjakarta.

drama kehidupan apa yang dialami setiap orang. peran apa yang sedang mereka mainkan. entahlah. aku sendiri juga heran, kenapa malam itu aku disana. mengapa. sekali lagi entahlah. aku menjalani apa yang harus aku jalani. aku tidak tahu.