Dulu, waktu aku masih umur-umur TK -4 sampai 5 tahunan- kalau ditanya temannya Bapak, “Sok mben nek wes gedhe arep dadi opo, lhee…?” Oleh bapakku waktu itu dijawab gini, “Badhe dados dosen IAIN.”
(Ini “bocahcilik” bener) Aku menurut saja waktu itu. Padahal IAIN itu dimana? sekolah apa? juga belum tahu. Memang Bapakku penganut orangtua dengan ideologi otoritarian, jadinya anaknya juga jadi pendiam seperti sekarang.
Kalau nggak salah itu sekitar tahun 1988-1989-an. Teringat waktu TK dulu aku jarang masuk. Senengnya malah ikut Bapak ngajar di MI-nya. Jadinya ya-itu umur TK udah srawung-e dengan umur-umuran diatasnya.
Trus… tahun 2002, sekitar 13-an tahun kemudian. aku dah lulus SMU (SMU po SMA terserah, wes) aku ikut UMPTN. Yang aku tuju ga’ maen-maen waktu itu. Pilihan 1:Statistik UGM. Pilihan 2:Matematika Murni UNY. Coba tebak adakah diantara keduanya aku diterima?
Ke3nyasalah. Ternyata saya kuliah di UNS. Meski aku lolos untuk nomor 2, UNY-nya.
3 tahun di Solo aku ke jogja.
Jujur saja (inspired from Radja) aku aga’ terpengaruh dengan penelitian mas IIP tahun 2002 waktu itu. Tentang apa? -tau sendirilah-.
And then….sekarang aku tahu sendiri what’s truly jogja?
Anda bisa menyimak penuturan Radityo Djadjoeri tentang JOGJA dibawah (dikutip dari angkringan.or.id):
Buatku (berdasar penilaian pribadi),
Jogja kian kehilangan jati dirinya.
Kraton Kasultanan memang masih tegak berdiri.
Malioboro masih semrawut seperti dulu.
Cita rasa gudeg tetap belum berubah.
Kali Code masih tetap mengalir ‘kemripyik’ dengan air yang kecoklatan.
Tapi ya Tuhan, ruko-ruko kini bermunculan.
Mal-mal jadi ajang kencan.
Bekas sekolahku pun kini terbelah – separonya telah beralih rupa menjadi pusat dagang.
Pohon-pohon rindang di kanan kiri jalan banyak yang telah ditebang – konon katanya sih untuk pelebaran jalan dan proyek-proyek yang cuma bikin bapak ibu pemda kian tebal kantongnya. Pohon-pohon berkayu yang jadi peneduh kala matahari menyengat kini beralih rupa menjadi hutan beton.
Segala merk sepeda motor tumpah ruah bak sirkuit kemelut, menggantikan ribuan sepeda onthel yang mungkin sudah diloak oleh pemiliknya.
Mobil-mobil yang berseliweran sungguh membuat kita susah untuk menyeberang jalan. Perempuan-perempuan muda berbusana tank top dan jeans ketat, juga jilbab-jilbab, berbaur jadi satu.
Oh, ini KL, Jakarta, Bandung apa Jogja?
Kalau sudah begitu, susah buatku untuk membedakan Jogja dengan kota lainnya.
Sepotong Jogja mirip Bekasi, sepotong lainnya mirip Tangerang – deretan kota-kota yang tak memiliki akar budaya.
Kemana berwisata malam? Pub, live music, cafe, penjaja seks, rave party, fancy restaurant, extacy, shabu-shabu. Yang ada hanya keramaian semu belaka – keriuhan pasar malam, namun tanpa jiwa. Jogja kini hanyalah kota buat persinggahan belaka, tak lagi nyaman untuk dihuni. Sebagian ciri khas Jogja telah hilang – entah terserak kemana.
Modernisasi memang perlu, tapi tetaplah jaga citra seni budaya khas Jogja. Pembangunan memang perlu, tapi jangan korbankan pohon-pohon nan hijau yang berderet riang menyambut para pendatang saat menelusuri jalanan aspal. Debu, polusi dan kebisingan kini seakan tak terpisahkan dalam keseharian.
Yah.. begitulah sepotong Jogja.
P.S: Ini hanya sepotong Jogja lho, yang berpotong-potong laen masih banyak.