Jogja: Gini Rasio Tinggi, Indeks Kebahagiaan Juga Tinggi; MANTAB JIWA


TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Satu hal yang bisa dibilang mencengangkan, saat mengetahui Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saat ini, tercatat sebagai provinsi dengan nilai gini ratio paling tinggi di Indonesia, dengan presentase mencapai 0,43 persen.

Angka tersebut melampaui nilai gini ratio nasional, yakni sebesar 0,393, yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2017 silam.

Gini ratio sendiri, menggambarkan tingkat ketimpangan ekonomi masyarakat, yang diukur dari pengeluaran penduduknya.

Akan tetapi, menariknya, meski memiliki angka ketimpangan ekonomi tertinggi di tanah air, DIY merupakan daerah dengan indeks kebahagiaan tertinggi di Pulau Jawa.

Berdasar data dari BPS, indeks kebahagiaan masyarakat Yogyakarta berada di angka 72,93 persen.

Rentetan fakta tersebut, turut disoroti oleh Koordinator jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, saat menghadiri agenda diskusi ‘Mengatasi Kesenjangan Sosial di Indonesia’, yang digagas oleh perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti), di Westlake Resort, Yogyakarta, Rabu (3/1/2018).

Alissa mengatakan, untuk membicarakan polemik yang terjadi di DIY ini, bisa dihubungkan dengan kaedah sosiologi, yang selama ini didalaminya.

Ia berujar, indeks kebahagiaan, belum tentu menggambarkan kualitas kehidupan mayarakat yang berada di tengah ketimpangan.

“Kalau digali lebih dalam, ketimpangan ini soal kualitas kehidupan masyarakat. Jadi, bukan sekadar merasa bahagia, merasa itu kan perspektif. Bicara kualitas kehidupan, itu ada indikatornya. Apakah itu terjadi di Yogyakarta?” tambahnya.

Walau begitu, putri sulung mendiang Presiden RI ke empat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut bisa menerima jika DIY memiliki indeks kebahagiaan yang tinggi.

Menurutnya, hal tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh lokal wisdom, atau kearifan lokalnya.

“Masyarakat Yogyakarta bisa merasa bahagia, karena lokal wisdom-nya itu harus menerima, atau istilahnya nrimo ing pandum (menerima segala pemberian). Jadi, bagaimanapun keadaannya, ya harus menerima, mengikhlaskan,” jelasnya.

“Sehingga, memang kehidupannya tidak terlalu terpengaruh oleh materi. Ini yang menyebabkan gini ratio tidak terlalu berdampak pada perasaan bahagia, atau tidak,” imbuh Alissa.

Ia pun berujar, bahwa dirinya pernah mendengar dari Romo Mangunwijoyo, kalau kearifan lokal itu terjadi bukan tanpa sebab.

Lanjutnya, perubahan kultur tersebut terjadi pada masa Sultan Agung, setelah Kerajaan Mataram terbelah menjadi dua bagian.

“Kemudian, setelah Kerajaan Mataram terbelah menjadi dua, muncul nilai-nilai baru. Tadinya, Laskar Mataram itu fighter, lalu fokusnya beralih ke tentrem nang ati, sentosa, begitu,” pungkasnya. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Gini Ratio DIY Berbanding Terbalik dengan Indeks Kebahagiaan, http://jogja.tribunnews.com/2018/01/03/gini-ratio-diy-berbanding-terbalik-dengan-indeks-kebahagiaan?page=all.
Penulis: aka
Editor: Gaya Lufityanti

Bisa jadi positif, bisa jadi negatif.

Positif bahwa rakyat tidak ada masalah meski ketimpangan ekonomi tinggi. artinya meski timpang,, tapi rakyat tidak akan terjerumus untuk menuntut – demonstrasi – atau apapun namanya protes, anarki, dll. Jogja bagaimanapun kondisinya tetap akan adem ayem.

Dungone:”Duh gusti paringono ingsun, kuat mlarat…”

Negatifnya, merasa bahwa everything is ok, yang seharusnya bertugas memeratakan kesejahteraan, merasa tugasnya sudah selesai. toh masyarakatnya juga sudah bahagia. berarti sudah tidak ada masalah.

Tinggalkan komentar