pulau kota itu adalah Jawa

dengan semakin terbukanya akses ke pelosok Jawa, maka kemungkinan berkembangnya sebuah tempat yang dulu tidak terbayangkan bisa saja terjadi.

dahulu, jalur sungai untuk saling terhubung dengan satu tempat dan tempat lain, dikenal jalur solo-gresik melalui bengawan solo. otomatis, pinggir sungai menjadi tempat strategis untuk mengakses jalur tersebut. berkembang juga istilah daerah penyeberangan atau tambangan. yang saat ini masih bisa dijumpai jika tidak ada jembatan penghubung.

apakah terbayangkan dahulu bagaimana kalo pas mudik dan balik.

lewat bengawan solo, bertemu di tempuran ngawi, bertemunya bengawan madiun, dan ke timur lagi, ke tuban, ke lamongan ke gresik.

pengganti jalur sungai, ada jalur darat, dengan semakin lancarnya pembangunan di jaman belanda dan diteruskan pemerintah orde baru. jembatan-jembatan dibangun dan eksis hingga kini.

jalan raya pos dibangun jaman daendels. awal 1800-an. menghubungkan titik-titik di pantai utara. tempat keramaian semakin berkembang antara titik pelabuhan dan akses antar kota.

sebelumnya, saat mataram mengirim bala tentaranya menyerang batavia, bisa jadi telah ada jalur darat yang signifikan, karena buat lewat bahan makanan, senjata, setidaknya grobak sapi bisa lewat kali ya.

tahun 2014. pemerintahan jokowi merealisasikan jalan tol trans Jawa. sebagian dibangun di samping jalur pos dan sebagian di jalur tengah Jawa. tidak perlu lewat jogja.

dahulu, pulau ini hanyalah hutan, dibuka sedikit-sedikit menjadi sawah. rakyat bermukim di dekat area persawahannya. yang namanya kota saat itu adalah kota kerajaan.

saat ini pertumbuhan berpusat di kota-kota. kota yang ramai karena dulu adalah kerajaan. atau dulu berkembang karena fasilitasi belanda. atau berkembang karena akses pelabuhannya. atau perkebunannya. atau banyaknya kampusnya.

belum lagi akan dimulainya keramaian jalur baru tersebut.

dan karena memang ada orang yang sengaja bikin kota baru. kota satelit yang dirancang lengkap dengan fasilitas jasa, pendidikan, ekonomi, hiburan, dan seterusnya.

Jawa semakin cepat. Jawa semakin padat. Jawa semakin penat.

Jogja: Gini Rasio Tinggi, Indeks Kebahagiaan Juga Tinggi; MANTAB JIWA

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Satu hal yang bisa dibilang mencengangkan, saat mengetahui Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saat ini, tercatat sebagai provinsi dengan nilai gini ratio paling tinggi di Indonesia, dengan presentase mencapai 0,43 persen.

Angka tersebut melampaui nilai gini ratio nasional, yakni sebesar 0,393, yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2017 silam.

Gini ratio sendiri, menggambarkan tingkat ketimpangan ekonomi masyarakat, yang diukur dari pengeluaran penduduknya.

Akan tetapi, menariknya, meski memiliki angka ketimpangan ekonomi tertinggi di tanah air, DIY merupakan daerah dengan indeks kebahagiaan tertinggi di Pulau Jawa.

Berdasar data dari BPS, indeks kebahagiaan masyarakat Yogyakarta berada di angka 72,93 persen.

Rentetan fakta tersebut, turut disoroti oleh Koordinator jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, saat menghadiri agenda diskusi ‘Mengatasi Kesenjangan Sosial di Indonesia’, yang digagas oleh perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti), di Westlake Resort, Yogyakarta, Rabu (3/1/2018).

Alissa mengatakan, untuk membicarakan polemik yang terjadi di DIY ini, bisa dihubungkan dengan kaedah sosiologi, yang selama ini didalaminya.

Ia berujar, indeks kebahagiaan, belum tentu menggambarkan kualitas kehidupan mayarakat yang berada di tengah ketimpangan.

“Kalau digali lebih dalam, ketimpangan ini soal kualitas kehidupan masyarakat. Jadi, bukan sekadar merasa bahagia, merasa itu kan perspektif. Bicara kualitas kehidupan, itu ada indikatornya. Apakah itu terjadi di Yogyakarta?” tambahnya.

Walau begitu, putri sulung mendiang Presiden RI ke empat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut bisa menerima jika DIY memiliki indeks kebahagiaan yang tinggi.

Menurutnya, hal tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh lokal wisdom, atau kearifan lokalnya.

“Masyarakat Yogyakarta bisa merasa bahagia, karena lokal wisdom-nya itu harus menerima, atau istilahnya nrimo ing pandum (menerima segala pemberian). Jadi, bagaimanapun keadaannya, ya harus menerima, mengikhlaskan,” jelasnya.

“Sehingga, memang kehidupannya tidak terlalu terpengaruh oleh materi. Ini yang menyebabkan gini ratio tidak terlalu berdampak pada perasaan bahagia, atau tidak,” imbuh Alissa.

Ia pun berujar, bahwa dirinya pernah mendengar dari Romo Mangunwijoyo, kalau kearifan lokal itu terjadi bukan tanpa sebab.

Lanjutnya, perubahan kultur tersebut terjadi pada masa Sultan Agung, setelah Kerajaan Mataram terbelah menjadi dua bagian.

“Kemudian, setelah Kerajaan Mataram terbelah menjadi dua, muncul nilai-nilai baru. Tadinya, Laskar Mataram itu fighter, lalu fokusnya beralih ke tentrem nang ati, sentosa, begitu,” pungkasnya. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Gini Ratio DIY Berbanding Terbalik dengan Indeks Kebahagiaan, http://jogja.tribunnews.com/2018/01/03/gini-ratio-diy-berbanding-terbalik-dengan-indeks-kebahagiaan?page=all.
Penulis: aka
Editor: Gaya Lufityanti

Bisa jadi positif, bisa jadi negatif.

Positif bahwa rakyat tidak ada masalah meski ketimpangan ekonomi tinggi. artinya meski timpang,, tapi rakyat tidak akan terjerumus untuk menuntut – demonstrasi – atau apapun namanya protes, anarki, dll. Jogja bagaimanapun kondisinya tetap akan adem ayem.

Dungone:”Duh gusti paringono ingsun, kuat mlarat…”

Negatifnya, merasa bahwa everything is ok, yang seharusnya bertugas memeratakan kesejahteraan, merasa tugasnya sudah selesai. toh masyarakatnya juga sudah bahagia. berarti sudah tidak ada masalah.