Paradoks Yogyakarta


Dr Aprinus Salam, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM

AGAK mengherankan ketika Yogya menjadikan dirinya menjadi rumah yang penuh dengan keparadoksan. Rumah yang aslinya ramah dan berhati nyaman, tetapi sekarang banyak klithih bergentayangan. Rumah yang katanya ayem tentrem, tapi ternyata warganya memegang ranking banyak penyakit, seperti diabetes, kanker, stroke, bahkan sakit jiwa. Rumah yang katanya banyak orang berusia panjang, tapi sekarang banyak orang selesai hidupnya di usia pendek.

Rumah yang katanya kinerja Pemdanya salah satu yang terbaik, tapi tingkat kesejahteraan warganya termasuk yang paling rendah di Indonesia. Dikenal sebagai rumah pendidikan, tapi masih banyak yang tidak terdidik. Rumah yang dikenal penuh kepedulian, tapi sekaligus rumah paling intoleran. Sangat dikenal sebagai rumah budaya, tapi kehidupan ‘berbudaya’ tidak mendapat perhatian. Ada apa dengan Yogya?

Dalam konteks keparadoksan, Yogya sama sekali tidak istimewa. Walaupun tidak dalam data yang sangat ekstrem, kecenderungan seperti itu juga terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Kecenderungan itu hampir sama saja walau dengan ‘varian paradoksal’ yang berbeda. Kriminalitas, penyakit, dan kemiskinan terjadi di mana-mana. Masalahnya ini Yogya. Di sini letak keistimewaannya.

Bagaimanapun, masyarakat Indonesia pada umumnya masih memiliki persepsi dan ingatan bahwa Yogya itu rumah yang ramah, santun, aman, dan nyaman. Dengan demikian, jika persepsi dan ingatan itu terganggu/diganggu dengan bergentayangannya klithih, atau kriminalitas  lainnya, maka Yogya langsung jadi sorotan. Dengan pertanyaan, kok bisa? Ada apa dengan Yogya?

Jika kemudian ada informasi bahwa penyakit tertentu di Yogya termasuk yang tinggi di Indonesia, atau jika ada informasi Yogya merupakan salah satu wilayah paling intoleran di Indonesia, maka langsung saja Yogya menjadi pusat perhatian. Dengan pertanyaan, loh kok bisa? Ada apa dengan Yogya?

Dengan demikian, sebetulnya yang sangat terganggu dengan berbagai masalah yang dihadapi Yogya belakangan ini adalah terganggunya persepsi dan kenangan indah tentang Yogya. Ketergangguan itu menimbukan pertanyaan dan sekaligus ketidakpercayaan, apa benar Yogya telah berubah demikian drastis.

Di balik pertanyaan dan ketidakpercayaan itu sebetulnya menyimpan harapan bahwa kalau bisa Yogya tidak seperti itu. Kalau bisa Yogya masih bisa menjadi oase kenyamanan. Kalau bisa Yogya masih bisa menjadi oase dan model bagaimana keragaman dan multikulturalisme bisa berlangsung dengan cantik di Yogyakarta. Kalau bisa, Yogya tetap menjadi oase ketenteraman.

Itulah sebabnya, masyarakat Yogya perlu kerja keras dan kompak untuk mengembalikan persepsi dan kenangan yang indah itu, entah bagaimana caranya. Mungkin salah satu caranya adalah dengan memperbanyak forum dialog lintasagama, lintasetnis dan budaya, lintaskomunitas. Ruang publik untuk kolaborasi dan persentuhan kultural antara berbagai perbedaan tersebut juga perlu diperbanyak.

Begitulah, Yogya sekarang memang bukan tiga atau empat puluh tahun yang lampau. Yogya sekarang adalah Yogya yang macet, Yogya yang memegametropolis. Yogya yang serba cepat, Yogya yang serba campur aduk dan tumpang tindih dalam berbagi persoalan dan kepentingan. Yang paling menyedihkan sangat mungkin Yogya yang terkooptasi oleh kapitalisme akhir dan/atau hipermodernitas.

Berdasarkan alur kesejarahan perkembangan modernitas, tampaknya Yogya tidak memiliki kemampuan yang memadai bagaimana mengelola akselerasi kapitalisme. Yang terjadi adalah Yogya yang mengkapitalisme, bukan kapitalisme yang menyogya. Ketika yang terjadi Yogya yang mengkapitalisme, maka akan sangat banyak ketidaksiapan masyarakat menghadapinya.

Implikasi dari ketidaksiapan itu yang paling menonjol adalah stres. Ini tentu akan mengganggu banyak sistem kesehatan, baik kesehatan fisik maupun non-fisik. Implikasi lain adalah berbagai bentuk radikalisasi untuk kembali merebut identitas yang ketelingsut.  Terjadilah berbagai kegiatan spontan untuk seolah siap menjadi bagian dari masyarakat kapitalis. Berbagai bentuk ekstrimitas hoax dan efek perilaku dari hoax adalah sisi lain dari berbagai sikap, tindakan, dan perbuatan yang tidak kondusif.

Apapun yang terjadi, kita perlu menancapkan satu strategi yang komprehensif, terutama dalam mengelola secara bijak dan cerdas mengatasi kooptasi kapitalisme akhir/hipermodernitas. Mungkin terdengar klise dan klasik, tapi penyakit yang kita hadapi sebetulnya juga bersifat klise dan klasik. Sejarah harus didaur ulang dengan cara yang inovatif dan berdaya guna.

krjogja hari ini dalam kolom analisis kr

Tinggalkan komentar